Aku bangkit dari kursi dan meninggalkan ayah Husna. Aku masuk rumah dan mencari jaket dan kontak motorku. Aku bertekad akan mencari Husna sendiri.Â
Kukunci pintu rumah. Kulihat ayah Husna terduduk di kursi, menundukkan kepala. Mungkin dia stres karena Husna menghilang.Â
"Sudah...pulanglah, mas. Istrimu pasti menunggumu. Lagipula kalau kamu ke sini hanya untuk marah, lebih baik tadi tak ke sini..."
Aku segera menuju motorku yang terparkir di garasi.Â
"Kamu mau ke mana, Put? " ayah Husna membuntutiku.Â
Aku menstarter motorku. Kubiarkan sebentar biar mesin panas.Â
"Aku akan cari Husna sendiri. Mas pulang saja..."
Kupandang mata ayah Husna yang dulu begitu teduh.Â
"Aku adalah ibu yang egois seperti yang mas bilang tadi. Iya. Aku terima. Terserah mas pikir apa tentang aku. Tapi coba tanya ke hati mas, mas bersalah nggak selama ini..."
Kurasa perempuan memang harus kuat mendengar perkataan negatif. Namun tak ada yang salah jika aku sakit hati.Â
"Mas itu lebih egois. Tak peduli Husna. Tak peduli aku. Dulu mas tak pernah perjuangkan biar Husna bahagia. Husna begitu merindukan aku, ibunya, terus apa yang mas lakukan? Tak peduli..."
Lama ayah Husna terpaku. Kuambil helm di rak sebelah kiri motorku terparkir. Dia mendekatiku dan tiba-tiba dia memelukku.Â