*
Saat ini aku menunggu ayah Husna. Dia dalam perjalanan ke sini. Aku begitu kacau. Dering telepon dari HPku tak kupedulikan lagi. Berkali-kali rekan kerjaku menelepon dan mengirimkan pesan, semua tak kuhiraukan. Kubayangkan Husna berada di tempat yang mengerikan, diculik dan disiksa. Astagfirullah.Â
Selama ini aku telah membuatnya merasa kesal. Iya. Aku egois. Aku mengharap Husna bisa menerima pendapat dan kondisiku yang merasa begitu kesepian. Sementara jalan pikiran Husna tak aku gubris.
*
"Kamu itu ibu yang bagaimana, Put. Husna belum sampai rumah Maghrib tadi kok tak mencari. Tak bertanya ke temannya. Tak meneleponku. Kau ini..."
Suara ayah Husna langsung mencecar dengan suara tinggi begitu melihatku di teras rumah. Aku hanya mendengarkan dengan perasaan teriris. Dia terus menyalahkan, menyalahkan dan menyalahkan.Â
"Kalau Husna tak suka dengan laki-laki itu ya dengerin. Kamu malah egois, Put! Sekarang tau rasa kan, dia pergi tak tahu kemana... "
Tak ada kata-kata yang kuucapkan untuk memprotes ucapan ayah Husna. Air mata yang berbicara.Â
"Halah... perempuan di mana saja sama. Cuma bisa nangis..!"
Ayah Husna kesal. Dengan nafas terengah, dia mencoba menahan diri. Tangannya mengepal. Kalau tak ingat aku perempuan mungkin sudah ditinjukan ke arahku.Â
"Terserah kamu, mas. Kau salahkan aku terus-terusan pun tak apa."