"Ibu, ayah tadi kirim salam buat ibu..."
Husna menyampaikan pesan itu ketika kami merapikan ruang tengah.Â
"Ya. Wa'alaikum salam..."
Kutimpali pesan itu dengan singkat. Lalu Husna membuka HPnya yang baru saja berbunyi. Khusus hari Sabtu dan Minggu, dia kuberi kebebasan untuk memegang HPnya. Asal tak terlalu lama. Kalau terlalu lama, pasti kuperingatkan juga. Nah kalau dia ngeyel, HP pastilah kusita.Â
"Ibu, ini WA dari ayah. Ayah nanyain, salamnya sudah sampai belum. Trus ayah juga tanya, dapat salam balik nggak..."
Hmmm... apa-apaan ayah Husna. Kayak anak remaja saja. Kirim-kirim salam segala.Â
Aku tak menghiraukan pertanyaan ayah Husna lewat Husna itu. Untungnya si ayah meneleponnya, jadi aku tak perlu menanggapinya. Lebih baik kalau aku merapikan taman saja.Â
**
"Ibu, apa ibu nggak sayang ayah? "
Husna menghampiriku yang sedang merapikan bunga. Kuhela nafas. Aku belum menemukan kalimat yang tepat untuk  menjawab pertanyaan Husna.Â
Husna tak juga pergi. Dia seolah menunggu jawabanku. Berat untuk menyampaikan perihal orangtuanya yang berpisah kepada anak seumurannya.Â
"Husna, ibu sudah punya Husna yang selalu ibu sayang. Jadi.. "
"Tapi, bu. Sini deh. Kemarin aku merekam ayah pas nyanyi ini. Kata ayah, itu buat ibu..."
Kudekati Husna yang mau menunjukkan sesuatu di HPnya. Dia memutar rekaman, ah... bukan. Dia memutar video ayahnya yang nyanyi di samping Husna. Mungkin kemarin merekamnya, ketika dia diajak ke rumah ayahnya.
Hatiku menjadi teriris mendengar lagu itu kembali dinyanyikannya. Lagu kenangan yang sering dinyanyikannya untukku ketika kuliah dulu.Â
Aku tak kuasa untuk menahan rasa sakit dan pedih. Aku beranjak dari taman. Aku menuju kamar.Â
"Ibu istirahat dulu ya, Husna. Kalau kamu mau main, nggak boleh jauh-jauh..."
Kutinggalkan Husna sendirian. Ya... demi menjaga Husna. Aku tak mau putriku itu melihatku meneteskan air mata. Cukuplah dia tahu bahwa aku adalah ibu yang kuat, tak cengeng dan menyayanginya.Â
**
Suara adzan Dhuhur terdengar. Sayup-sayup kudengar pintu kamar diketuk. Husna memanggilku.Â
Husna memang kubiasakan untuk berbuat sopan kepada orang tua atau orang yang dituakan. Salah satunya kalau mau masuk kamar ibunya, dia harus mengetuk pintu dulu dan bilang permisi.Â
Aku bangkit dari tempat tidurku. Kudekati pintu kamar dan kubuka. Husna berdiri di depan pintu.
"Ibu, ibu sudah nggak capek kan?"
Aku mengangguk dan tersenyum. Kubelai rambut Husna yang hitam dan panjang. Kuajak dia duduk di ruang tengah.Â
"Ibu, kemarin ayah titip ini buat ibu..."
Husna menyerahkan sebuah amplop putih. Aku teringat saat pertama kali Husna bersekolah, ayahnya juga menitipkan surat untukku.Â
Aku ragu menerimanya. Tapi aku tak tega melihat wajah Husna yang begitu berharap ibunya mau menerima surat itu.Â
Kutatap lekat-lekat wajah cantik itu. Wajahnya begitu mirip dengan ayahnya. Tak ada kemiripan dengan wajahku sama sekali.Â
"Ibu... terima surat ayah dong. Kasihan ayah. Kata ayah, surat itu spesial buat ibu..."
Dengan terpaksa kuterima juga surat ayah Husna itu meski mungkin tak akan kubaca. Husna begitu bahagia ketika tanganku menerima surat itu dari tangannya. Dia bersorak-sorak, seperti mendapat hadiah saja.Â
"Hore...hore... ayah sama ibu pacaran...yeayyy yeayyy!" teriak Husna sambil meloncat kegirangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H