"Ibu, ibu sudah nggak capek kan?"
Aku mengangguk dan tersenyum. Kubelai rambut Husna yang hitam dan panjang. Kuajak dia duduk di ruang tengah.Â
"Ibu, kemarin ayah titip ini buat ibu..."
Husna menyerahkan sebuah amplop putih. Aku teringat saat pertama kali Husna bersekolah, ayahnya juga menitipkan surat untukku.Â
Aku ragu menerimanya. Tapi aku tak tega melihat wajah Husna yang begitu berharap ibunya mau menerima surat itu.Â
Kutatap lekat-lekat wajah cantik itu. Wajahnya begitu mirip dengan ayahnya. Tak ada kemiripan dengan wajahku sama sekali.Â
"Ibu... terima surat ayah dong. Kasihan ayah. Kata ayah, surat itu spesial buat ibu..."
Dengan terpaksa kuterima juga surat ayah Husna itu meski mungkin tak akan kubaca. Husna begitu bahagia ketika tanganku menerima surat itu dari tangannya. Dia bersorak-sorak, seperti mendapat hadiah saja.Â
"Hore...hore... ayah sama ibu pacaran...yeayyy yeayyy!" teriak Husna sambil meloncat kegirangan.