Rasanya hari-hari semakin melelahkan. Menikah memang membuat perempuan menjadi lebih sibuk. Melayani kebutuhan suami, merapikan rumah, agar suasana nyaman.Â
Namun seperti pasangan suami istri lainnya, kehidupan rumah tanggaku juga mengalami pasang surut. Perselisihan, rasa cemburu, kesal mewarnai romantisme kisah kami.Â
Selisih usia yang cukup jauh kadang tak mempengaruhi kedewasaan mas Widi. Tanpa alasan sering saja cemburu. Tak dipercayai suami merupakan hal yang paling menyebalkan. Bikin emosi. Dianggapnya aku seperti tokoh-tokoh di sinetron alay.Â
Dia merasa sudah tua, sedang aku masih jauh lebih muda. Sebenarnya jarak usia juga tak sampai sepuluh tahun. Dia memang tak mengetahui kisah pahitku ketika ditinggalkan Tio. Setahunya kami hanya berteman saja karena Tio dan aku adalah mahasiswa yang KKN di satu lokasi.Â
Aku sengaja tak membicarakan kisah itu. Aku tak ingin mengingat kembali kisah bersama Tio. Dan itu memang menjadi kesalahanku. Harusnya aku terbuka sejak dia kembali menanyakan kesediaanku untuk menjadi pendamping hidupnya.Â
Akibatnya kini dia merasa aku bersedia menikah dengannya hanya sekadar pelarian.Â
Aku belum hamil pun menjadikan munculnya pikiran negatif di kepalanya.Â
"Mas sudah tua, dik. Mungkin kamu malu kalau punya anak dariku..."
Apa-apaan dengannya? Udah dewasa dan aku merasakan hati nyaman bersamanya malah memancing emosi saja.Â
"Halah... paling mas Widi saja yang malu. Ngaku sajalah, mas. Temen mas kan cantik-cantik. Mas sendiri pernah bilang sama aku kan?", kucoba mencairkan suasana. Sungguh aku capek dengan sikapnya itu. Masa aku belum hamil malah pikirannya kayak gitu. Urusan rezeki atau amanah ya jadi rahasia Allah.Â
"Kok malah kamu nuduh aku...", elaknya.Â