Dengan perasaan sakit aku segera menuju dapur. Kubuka kulkas dan mengambil stok sayuran yang ada. Kumeracik dan memasakkan makanan kesukaan suamiku. Setelah siap, kuambilkan masakan kesukaannya itu. Kuantarkan ke ruang kerjanya. Dia lebih sering makan di sana. Biasanya ketika dia makan, aku setia menemani di sampingnya. Tapi saat ini aku tak mau menemaninya.Â
***
Sore di hari berikutnya. Di rumah. Suamiku sudah menungguku di teras. Dia berusaha untuk tersenyum  dan menyapaku. Aku tak menanggapinya. Aku masih merasa sakit. Ingin rasanya kuumpat dia. Tapi sudahlah. Itu hanya menambah aku stres dan sedih.Â
Aku langsung masuk rumah. Kusiapkan air panas untuk mandi. Biar segar. Badan rasanya lengket. Seharian masih persiapan visitasi akreditasi.Â
Sambil menunggu air mendidih, aku duduk di meja makan. Kuraih gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya. Kuteguk perlahan untuk membasahi kerongkonganku.Â
Suamiku menyusul. Dia membawa sebuah kotak bergambar gawai.Â
"Sayang, ini buat kamu. Maafin mas ya. Kemarin marah...", ucapnya sambil menyerahkan kotak itu padaku.Â
"Aku tak membutuhkannya, mas. Mas simpan saja..", tolakku.Â
Kulihat air dalam cerek sudah mendidih. Aku menuju kamar mandi.Â
***
"Sayang, kamu masih marah?", tanyanya ketika aku masih sibuk merampungkan administrasiku. Minggu depan visitasi dilakukan. Jadi aku memastikan tak ada administrasi yang terlewatkan.Â