Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Riak-riak Cinta

28 April 2019   22:32 Diperbarui: 10 November 2019   00:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku perhatikan akhir- akhir ini suamiku, mas Widi, sering berkebun. Entah menanam pohon-pohon buah seperti jeruk, kelengkeng, alpukat, pisang. 

"Buat investasi kita juga, dik", jelasnya singkat. 

Selain itu beragam empon-empon juga ditanamnya. Rencana terakhir dia akan menanam aneka sayuran. 

"Biar kalau masak bisa langsung metik di kebun. Lebih sehat dan hemat kan, dik?"

Aku hanya tersenyum saja. Okelah. Tak apa dia melakukan aktivitas itu. Daripada sering pegang gawai. Malah mengkhawatirkan. Ya kesehatan, ya bisa kepincut perempuan lain nanti. Haha. 

Namanya berkeluarga memang harus dibumbui rasa cemburu. Pernah dia marah besar padaku, saking cemburuku keterlaluan menurutnya. Padahal dia sendiri sering chatingan dengan seorang perempuan yang katanya sih suaminya lagi demenan sama orang lain. Jadi tempat curhatnya. 

Aku jelas tak terima. Ya... perempuan sih suka baper dan cemburuan. 

"Dia tuh temen SMAku, dik. Nggak ada hubungan lain selain persahabatan. Dia butuh teman curhat...", terangnya. 

Dia sendiri sudah lupa rupanya. Aku juga butuh diperhatikan. Aku lebih berhak mendapatkan perhatiannya ketimbang perempuan itu. 

"Aku juga butuh diperhatikan, mas. Aku pingin sering ngobrol sama mas. Malah mas tak mau..."

"Siapa bilang kalau aku tak memperhatikanmu, dik. Setiap pulang dari kampus aku ada di rumah.."

Iya, kamu di rumah tapi hatimu entah kemana, batinku kesal. 

"Yaudah. Aku juga bisa kok curhat sama orang lain. Emangnya mas saja yang bisa?", aku mengakhiri perdebatanku.

***

Selepas perdebatan itu aku mencoba untuk  cuek. Aku tak lagi rajin masak, nyuci ataupun nyetrika. Kalau menyapu dan mengepel masih aku lakukan. 

Aku jadi mengimbangi mas Widi. Aku jadi sering pegang gawai. Kemanapun gawai selalu ada di tanganku. Aku sebenarnya tak curhat dengan orang lain mengenai rumah tanggaku. Nggak. Aku tak melakukannya. 

Kebetulan sekolah mau ada kegiatan visitasi akreditasi. Jadi antar guru lebih sering berkomunikasi. Bahkan sampai tengah malam. Ya karena kami harus saling melengkapi seluruh administrasi yang dibutuhkan. Lebih baik lembur di rumah daripada di sekolah. 

Oh iya. Setelah mas Widi memuji temannya yang menjadi lebih cantik, aku mulai belajar merias wajah secara minimalis. Biar tak kelihatan lugu banget. Aku nggak mau kalah sama perempuan itu. 

"Dik, kamu masak apa? Laper nih...", tanyanya masih dalam keadaan memegang gawai. Tahu kalau jadi istrinya aku hanya dicueki seperti itu, pasti dulu aku tak mau menerima lamarannya. 

"Suruh masakin temen mas saja. Aku sudah makan sama temen tadi...", ucapku cuek. Aku bicara sesungguhnya. Sebelum pulang bu Antik, kepala sekolah, seperti biasa beliau mentraktir anak buahnya. Jadi sampai di rumah aku tak makan lagi. Aku tak peduli suamiku sudah makan ataukah belum. Aku masih kesal dengannya. Inilah bentuk protesku atas kelakuannya. 

Mendengar ucapanku itu, dia marah. Dia bilang kalau istri itu tugasnya melayani suami, menyenangkan suami, masak buat suami. Dalam kondisi marah itu dia merebut gawai yang kupegang. Dan byarrrr! Gawaiku dibanting. Dia mengatakan gawaikulah yang membuatku lalai akan tugas dan kewajibanku. 

Aku menangis. Aku tak mengira dia kasar seperti itu. Dia melupakan janjinya. Dia tak menjagaku. Tak menemaniku di saat bahagia apalagi duka dan lelah. Dia menuntut ini itu, sementara kewajiban tak dilakukannya. 

Dengan perasaan sakit aku segera menuju dapur. Kubuka kulkas dan mengambil stok sayuran yang ada. Kumeracik dan memasakkan makanan kesukaan suamiku. Setelah siap, kuambilkan masakan kesukaannya itu. Kuantarkan ke ruang kerjanya. Dia lebih sering makan di sana. Biasanya ketika dia makan, aku setia menemani di sampingnya. Tapi saat ini aku tak mau menemaninya. 

***

Sore di hari berikutnya. Di rumah. Suamiku sudah menungguku di teras. Dia berusaha untuk tersenyum  dan menyapaku. Aku tak menanggapinya. Aku masih merasa sakit. Ingin rasanya kuumpat dia. Tapi sudahlah. Itu hanya menambah aku stres dan sedih. 

Aku langsung masuk rumah. Kusiapkan air panas untuk mandi. Biar segar. Badan rasanya lengket. Seharian masih persiapan visitasi akreditasi. 

Sambil menunggu air mendidih, aku duduk di meja makan. Kuraih gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya. Kuteguk perlahan untuk membasahi kerongkonganku. 

Suamiku menyusul. Dia membawa sebuah kotak bergambar gawai. 

"Sayang, ini buat kamu. Maafin mas ya. Kemarin marah...", ucapnya sambil menyerahkan kotak itu padaku. 

"Aku tak membutuhkannya, mas. Mas simpan saja..", tolakku. 

Kulihat air dalam cerek sudah mendidih. Aku menuju kamar mandi. 

***

"Sayang, kamu masih marah?", tanyanya ketika aku masih sibuk merampungkan administrasiku. Minggu depan visitasi dilakukan. Jadi aku memastikan tak ada administrasi yang terlewatkan. 

"Aku nggak bisa tenang kalau kamu seperti ini, sayang. Please, jangan marah...", ucapnya putus asa. 

Kuhela nafas panjang. Kutahan air mata yang menghias di pelupuk mataku. 

"Siapa yang marah, mas? Aku apa mas Widi? Salah apa sih aku, mas? Aku lemburan dan komunikasi dengan teman-teman, mas marah. Aku tak masak, mas marah. Apa aku pembantumu, mas?", tanyaku. Air mataku berjatuhan juga akhirnya. 

Mas Widi meraih tubuhku. Dia memelukku. 

"Aku berusaha menjadi istri yang baik, mas. Tapi mas sendiri cuek. Malah mas lebih memperhatikan teman mas.."

Kuluapkan semua uneg-uneg yang ada di hati dan pikiranku. 

"Kalau mas Widi sudah menilai aku sebagai istri yang tak baik, mas Widi antarkan aku ke rumah bapak ibu saja, mas..."

***

Saat ini mas Widi sedang menata taman depan rumah. Segala macam bunga ditanam dalam pot dan ditata rapi. 

"Wis, ketimbang salah dan kamu ngambeg lagi, dik. Aku merawat dan merhatiin bunga di taman saja. Lebih enak dan asri dilihat. Kalau merhatiin bunga desa dan bunga kampus bisa bikin aku nggak dapat jatah makan...", jawabnya ketika kutanya mengapa dia sering membeli bunga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun