Alhamdulillah... Â ujian skripsi terlalui dengan baik. Meski hatiku masih sedih luar biasa. Di hari ini pula Tio, kekasihku, melalui prosesi ijab kabul. Menikahi sepupunya yang kini tengah mengandung, sementara laki-laki itu tak mau bertanggung jawab.Â
Untunglah pada lembar persembahkan skripsiku tak kuabadikan nama itu. Hanya kupersembahkan untuk kedua orangtuaku yang telah dengan sabar dan pengorbanan untuk menguliahkanku agar bisa membangun kampungku.Â
Teman-teman masih banyak yang mempedulikanku. Aku mensyukurinya. Di tengah keterpurukanku mereka membesarkan hati dan memotivasiku. Di satu sisi aku bahagia, di sisi lain aku merasakan kehampaan yang tak bertepi.Â
***
Hari wisudaku.Â
Aku baru saja sampai kos setelah berkumpul bersama teman-teman seangkatan. Syukuran bareng-bareng. Sedangkan kedua orangtuaku ke kos duluan.Â
"Wis bali, ndhuk?", sapa ibuku.Â
"Nggih, bu. Nyuwun ngapunten ngantos kendalon...", jawabku.Â
Aku menyalami tangan perempuan terkasihku yang menghitam dan mulai mengeriput dimakan usia. Tangan yang penuh kasih menjaga dan merawatku sampai aku dewasa. Wisudaku hari ini menjadi kado terbaik untuknya, juga untuk bapakku.Â
Senyum bahagia terlukis di wajah teduh mereka. Meski sesekali tatap mata mereka laksana elang yang siap menerkamku karena kesalahan yang kuperbuat. Kadang suara lantang memarahiku. Namun kesemuanya itu memang harus mereka lakukan agar aku tak salah jalan. Ketika ku menikah dan memiliki buah hatipun bisa saja kulakukan juga ke anakku kelak.Â
Ah... kenapa aku berpikir tentang pernikahan? Bukankah aku baru saja ditinggal oleh Tio, kekasihku?Â
Nafasku terasa berat ketika mengingatnya. Airmata kutahan agar tak jatuh. Aku tak ingin melihat kedua orangtuaku sedih. Mereka juga tak tahu menahu hubunganku dengan Tio. Aku belum pernah menceritakan kepada orangtuaku. Prinsipku kalau sudah jelas akan sebuah hubungan aku belum mau memperkenalkan ke orangtuaku. Begitu juga Tio. Aku belum pernah diajak untuk berkenalan dengan orangtuanya.
"Kalau sudah lulus, aku bawa kau ke rumah. Terus aku bilang ibu kalau aku mau melamarmu. Nggak usah lama-lama menentukan hari pernikahannya. Sebulan atau dua bulan langsung kita menikah...", begitu ucapnya dulu.
Impian itu tak terwujud. Manusia punya keinginan, Allah yang Maha Menentukan. Kini semua tinggal menjadi kenangan. Mungkin saja ku tak bisa lupakan itu.Â
"Oh iya, ndhuk. Tadi ada yang nyari kamu. Ibu lupa namanya..."
"Ada yang nyari, bu?", tanyaku meyakinkan. Ibu mengangguk.Â
"Tadi mau WA kamu katanya. Kamu juga kelamaan. Kasihan dia nunggu lama...", terang ibu setengah protes. Ya aku sadar aku terlalu lama di kampus. Jadi aku diam. Tak mungkin aku membela diri.Â
***
Di kamar. Aku membersihkan sisa make up yang hampir seharian menutupi mukaku. Rasanya sudah risih. Saking tak terbiasa dengan aneka perlengkapan berhias yang disukai perempuan itu. Terlalu ribet menurutku.Â
Setelah wajahku bebas dari lukisan, aku mengambil HP. Dari tadi aku tak pegang HP. Untuk urusan dokumentasi foto nanti pasti dikirimi sama Wahyudi. Dia dengan suka rela menjadi fotograferku seharian ini.Â
Segera aku mengecek pesan yang masuk. Aku penasaran dengan cerita ibu tadi. Siapa yang datang ke sini? Rasanya kalau Tio juga tak mungkin. Ahhh... astagfirullah. Mengapa nama itu masih melekat di ingatanku?Â
Satu persatu pesan yang masuk kubalas. Belum juga ada yang mengaku ke sini. Ya sudahlah. Lebih baik aku mandi dulu. Biar badanku segar.Â
***
Malamnya.Â
"Hai, dik. Selamat ya atas wisudanya. Semoga ilmunya bermanfaat", pesan masuk dari Pak Widi. Aku jadi ingat kalau pak Widi masih menunggu jawabanku. Dia ingin menjadikanku sebagai pendamping hidupnya. Dan sampai saat ini aku belum memikirkan pengganti Tio.Â
"Makasih, pak. Atas doa dari teman dan semua dosen. Makasih, pak...", balasku.Â
"Iya, Â sama-sama. Oh iya..tadi aku main ke kosmu. Pinginnya ketemu kamu..."
Aku jadi terkejut. Ternyata pak Widi yang tadi ke kos.Â
"Oh.. Bapak yang ke sini? Maaf. Tadi ada acara bareng teman-teman..."
"Iya. Gpp. Besok aku jemput kamu ya. Tadi aku sudah minta izin sama bapakmu kok... oke!"
"Waduh, pak... Â ini namanya curi start. Saya belum menjawab mau atau tidak untuk bertemu tapi sudah minta izin sama bapak.."
Hanya balasan emoticon tertawa yang dikirimkan kemudian.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H