Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orangtua sebagai Pendidik, Antara Idealis dan Realita

15 April 2019   00:02 Diperbarui: 15 April 2019   04:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Yang jelas ide tulisan ini saya dapatkan setelah membaca dan menikmati puisi dari salah satu Kompasianer tentang guru sebagai pahlawan bangsa. 

Saya berkomentar bahwa seorang guru memiliki pengorbanan yang luar biasa, salah satunya dia mendidik anak orang lain. Sementara dia sendiri tidak bisa mendidik anaknya sendiri. Kenapa saya bilang seperti itu? Bagaimana idealnya menjadi orangtua di rumah? 

Orangtua adalah guru atau sekolah pertama bagi anak

Tentu kita sepakat bahwa anak pertama kali belajar dari orangtuanya. Bukan hanya sejak dia dilahirkan. Akan tetapi sejak dalam kandungan pun anak sudah belajar dari orangtua. Oleh karenanya orangtua diharuskan bertingkah laku, bicara dengan hati-hati. 

Bagi umat Islam malah diajarkan agar selalu menjalankan ibadah fardhu, membaca dan memperdengarkan kalam Illahi dalam Alquran sejak dalam kandungan. Bahkan ada juga yang menganjurkan bagi orangtua untuk membaca QS Yusuf atau QS Maryam ketika si ibu tengah mengandung. Harapannya jika anak dilahirkan laki-laki maka bisa meneladani Nabi Yusuf yang selain tampan juga sholih. Sedang jika anak yang dilahirkan adalah perempuan maka diharapkan agar kelak bisa meneladani keshalihan Siti Maryam meski mendapatkan ujian yang berat. 

Setelah sembilan bulan dalam kandungan kemudian lahir di dunia pun si bayi diadzani agar bisa mengenal panggilan bagi umat Islam untuk beribadah shalat fardhu. Kemudian mendidik bayi dimulai dari berdoa sebelum minum ASI, MPASI, bersenandung, bicara, berjalan. Semua dilakukan di lingkungan keluarga. 

Keluarga adalah madrasah atau sekolah pertama bagi anak. Hal ini jelas, seperti paparan saya tadi. Bahkan keluarga menjadi salah satu pusat pendidikan di antara Tri Pusat Pendidikan. 

Ketika anak sudah masuk ke lembaga pendidikan formal pun peran keluarga tetap harus terjaga. Pusat pendidikan harus bahu membahu dan bekerja sama untuk mewujudkan berhasilnya pendidikan anak. Keberhasilan pendidikan tidak bisa hanya ditumpukan pada keluarga atau hanya ke sekolah. Masyarakat pun turut berperan besar untuk mendidik anak agar berkarakter yang kuat. 

Realita yang terjadi 

Pendidikan menjadi tanggung jawab tri pusat pendidikan. Akan tetapi terkadang peran ketiganya terkesan pincang. Mengapa? 

Anak yang sudah menginjak pendidikan formal maka cenderung akan sulit menerima nasihat orangtua. Si anak akan lebih manut atau patuh pada guru atau ustadznya. Makanya jika anak tidak patuh atau ngeyel ketika dinasihati orangtua, orangtua tersebut akan meminta tolong gurunya untuk menasehati anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun