Saya tak tahu harus memulai tulisan ini dari mana. Yang jelas ide tulisan ini saya dapatkan setelah membaca dan menikmati puisi dari salah satu Kompasianer tentang guru sebagai pahlawan bangsa.Â
Saya berkomentar bahwa seorang guru memiliki pengorbanan yang luar biasa, salah satunya dia mendidik anak orang lain. Sementara dia sendiri tidak bisa mendidik anaknya sendiri. Kenapa saya bilang seperti itu? Bagaimana idealnya menjadi orangtua di rumah?Â
Orangtua adalah guru atau sekolah pertama bagi anak
Tentu kita sepakat bahwa anak pertama kali belajar dari orangtuanya. Bukan hanya sejak dia dilahirkan. Akan tetapi sejak dalam kandungan pun anak sudah belajar dari orangtua. Oleh karenanya orangtua diharuskan bertingkah laku, bicara dengan hati-hati.Â
Bagi umat Islam malah diajarkan agar selalu menjalankan ibadah fardhu, membaca dan memperdengarkan kalam Illahi dalam Alquran sejak dalam kandungan. Bahkan ada juga yang menganjurkan bagi orangtua untuk membaca QS Yusuf atau QS Maryam ketika si ibu tengah mengandung. Harapannya jika anak dilahirkan laki-laki maka bisa meneladani Nabi Yusuf yang selain tampan juga sholih. Sedang jika anak yang dilahirkan adalah perempuan maka diharapkan agar kelak bisa meneladani keshalihan Siti Maryam meski mendapatkan ujian yang berat.Â
Setelah sembilan bulan dalam kandungan kemudian lahir di dunia pun si bayi diadzani agar bisa mengenal panggilan bagi umat Islam untuk beribadah shalat fardhu. Kemudian mendidik bayi dimulai dari berdoa sebelum minum ASI, MPASI, bersenandung, bicara, berjalan. Semua dilakukan di lingkungan keluarga.Â
Keluarga adalah madrasah atau sekolah pertama bagi anak. Hal ini jelas, seperti paparan saya tadi. Bahkan keluarga menjadi salah satu pusat pendidikan di antara Tri Pusat Pendidikan.Â
Ketika anak sudah masuk ke lembaga pendidikan formal pun peran keluarga tetap harus terjaga. Pusat pendidikan harus bahu membahu dan bekerja sama untuk mewujudkan berhasilnya pendidikan anak. Keberhasilan pendidikan tidak bisa hanya ditumpukan pada keluarga atau hanya ke sekolah. Masyarakat pun turut berperan besar untuk mendidik anak agar berkarakter yang kuat.Â
Realita yang terjadiÂ
Pendidikan menjadi tanggung jawab tri pusat pendidikan. Akan tetapi terkadang peran ketiganya terkesan pincang. Mengapa?Â
Anak yang sudah menginjak pendidikan formal maka cenderung akan sulit menerima nasihat orangtua. Si anak akan lebih manut atau patuh pada guru atau ustadznya. Makanya jika anak tidak patuh atau ngeyel ketika dinasihati orangtua, orangtua tersebut akan meminta tolong gurunya untuk menasehati anak.Â
Belum lagi kalau masalah materi pelajaran. Jika anak tidak atau belum paham akan materi pelajaran maka ketika dijelaskan oleh ibu atau bapaknya juga tidak akan percaya, meskipun si bapak atau ibunya juga guru. Saya mengalaminya sendiri. Makanya saya juga sering mengirimkan pesan untuk gurunya biar anak saya percaya. Soalnya bisa malah uring-uringan antara orangtua dan anak.Â
Saya jadi harus sering menahan emosi juga. Terus saya juga sering bilang, "ibu juga guru. Masa kamu nggak percaya...". Ya namanya anak-anak. Mereka menilai gurunyalah yang pasti pintar dan pantas digugu dan ditiru. Bapak atau ibunya mah lewat.Â
Meski begitu memang orangtua, termasuk saya, harus terus mendampingi belajar anak. Paling tidak mengingatkan tugas sekolah, membersihkan kamar, membantu orangtua. Akan lebih baik jika belajar sehari- hari juga dipantau karena bagaimana pun anak adalah amanah bagi orangtua.Â
---
Inspirasi dari puisi Pahlawan Kehidupan karya mas Ikhlas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H