Aku tak mengenalnya secara pribadi. Namun aku begitu mengagumi sosok laki-laki berbaju biru. Aku perhatikan dia memang sering berpakaian warna biru. Aku tak tahu, apakah memang warna biru itu warna favoritnya ataukah bukan.Â
Aku hanya mengenalnya sebagai atasanku di kantor. Ketika bertemu dengannya ada rasa canggung untuk menyapanya. Namun dengan rendah hati dialah yang tersenyum kepada kami, bawahannya.Â
Oh iya. Meski dia karirnya melesat bak anak panah yang lepas dari busurnya, dia belum memiliki pasangan. Dari cerita teman kerjaku yang lebih senior, dia pernah dekat dengan seorang perempuan. Tapi sayangnya orangtua perempuan itu tak merestui hubungan mereka. Akhirnya dia bertekad untuk menjadi orang sukses. Dia ingin membuktikan bahwa orang miskin bisa sukses juga.Â
Ironisnya meski telah sukses, restu dari orang tua kekasihnya tak jua dikantonginya. Bahkan dengan teganya sang kekasih dinikahkan dengan laki-laki lain yang memiliki darah ningrat.Â
Bobot, bibit, bebet benar-benar menjadi tolok ukur untuk menjadikan seseorang sebagai menantu atau bukan. Jelas kelemahan laki-laki berbatik biru itu hanya satu, berasal dari keluarga miskin.Â
Ah... andaikan aku adalah perempuan yang menjadi kekasihnya pastilah bahagia mendapatkan hatinya. Terlalu berlebihan pikiranku itu. Namun setidaknya itulah yang sering aku dan teman-temanku perbincangkan di waktu istirahat kerja. Ngerumpi atasan. Hihihii...Â
***
Hari ini kakak sepupuku, mbak Intan, menikah. Akupun ke sana untuk ikut merasakan sukacita keluarga. Aku bersama saudara sepupu lain yang perempuan ada yang membantu menjaga buku tamu, prasman snack maupun prasman nasi.Â
Pernikahan dengan menjunjung nilai kekerabatan tinggi. Segala macam masakan yang terhidang adalah masakan tetangga dan saudara pelaksana hajatan. Aku sendiri diberi tugas menjaga prasman nasi.Â
Ewuh manten mbak Intan dilaksanakan tiga hari. Pastinya meriah sekali. Musik Campur Sari khas Gunungkidul--yang diprakarsai Almarhum Manthous--mengiringi kemeriahan jalannya ewuh.Â
Di hari ketiga atau hari H walimah, suasana ewuh semakin ramai. Kerabat dari pengantin laki-laki berdatangan. Selain itu teman-teman dari mbak Intan maupun manten laki-laki juga datang untuk memberikan restu.
Tak kusangka dan tak kuduga ternyata di antara tamu yang berdatangan itu ada laki-laki berbatik biru, Pak Hendra. Dia tampak sedikit terkejut melihatku. Mungkin dia juga tak mengira akan bertemu pegawainya di walimahan Mbak Intan. Apalagi aku berdandan agak menor, jadi kukira dia pangling dengan penampilanku.Â
"Lho... kamu juga di sini, mbak?", sapanya. Â
Aku mengangguk dan menjelaskan kalau aku adalah saudara si manten perempuan. Pak Hendra mengangguk-angguk mendengarnya. Dia lalu bercerita kalau dia bersahabat dekat dengan mas Tio, si manten laki-laki.Â
"Nggak ngira juga kalau Pak Hendra ke walimahan mbak Intan..."
"Kok manggil pak sih? Aku kelihatan tua banget ya? Panggil aja mas...", katanya setengah berbisik.Â
"Njenengan itu Bos saya, ya saya panggil pak aja ya..."
Dia tertawa mendengar ucapanku tadi.Â
"Bos?", tanyanya untuk meyakinkan ucapanku. Aku hanya mengangguk.Â
"Aku pinginnya kamu aja yang jadi bosku, mbak..."
Aku kaget sendiri mendengarnya.Â
"Wah, pak... Â itu namanya ngeledek. Saya nggak suka ah..."
"Ya udah kalau kamu nggak mau. Ada penawaran lain dariku kalau kamu berkenan..."
Aku menjadi sedikit tersanjung dengan penawaran bosku itu. Pasti teman-teman akan iri kalau tahu.Â
"Penawaran apa tu, pak?"
"Minggu depan aku ke rumahmu dan meminangmu ya, mbak..."
Aku terkejut dan mencoba menerka keseriusan bosku itu. Aku tak sempat menanyakan lebih lanjut. Hatiku tak menentu. Untunglah ada saudaraku yang melambaikan tangan, pertanda aku harus mendekatinya. Akupun berlalu dari bosku, laki-laki berbatik biru itu.Â
***
Selesai acara walimahan mbak Intan, aku beristirahat. Kuhapus make up yang hampir seharian menutupi wajahku. Terus terang aku tak terbiasa dandan menor seperti hari ini. Segera kucari HPku di tas yang kuletakkan di kamar Budhe Ria, ibu mbak Intan.Â
Kubaca pesan-pesan yang masuk. Salah satunya dari bos-ku.Â
"Kutunggu jawabannya ya, mbak..."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H