Ku sembunyikan wajah dan air mataku. Ku memunggunginya. Aku sudah ikhlas kalau kebahagiaan yang kami rancang tak berakhir indah.
Ku dengar dia memanggil namaku dengan pelan. Ku menoleh ke arahnya. Ku kuatkan hatiku untuk menatapnya.
"Maaf, dik. Aku mengabaikanmu beberapa hari tanpa menjelaskan penyebabnya. Juga tak mau bicara denganmu..."
Aku terdiam, ku tundukkan kepalaku. Aku menangis. Aku begitu menantikan suara itu.
"Aku tahu semuanya, dik. Maaf semua pesan di HPmu ku baca tanpa sepengetahuanmu..."
Dalam tangisku, aku tak habis pikir. Kenapa HPku bisa di tangannya? Bukankah kemarin pulang kerja sudah ku masukkan ke tasku?
"Maaf, dik. Aku menyesali kekhilafanku kemarin. Kita pulang ya, dik. Kita wujudkan rencana kita..."
Aku tergugu. Tak tahukah bahwa beberapa hari ini aku ingin memperbincangkan rencana lamaran itu? Tapi dia mengabaikanku.
"Wujudkan rencana kita?", Tanyaku ragu.
Dia menganggukkan kepalanya. Ku menangis bahagia. Diraihnya kedua tanganku. Ku rasakan kehangatan cintanya. Tubuhku yang basah oleh hujan tadi menjadi hangat. Aku bahagia rencana itu akan terwujud.
Tiba-tiba aku seperti terhempas dari tempat indah itu. Pegangan tangannya menyelamatkanku dari hempasan itu.