Aku sampai di sebuah tempat yang sangat asing tapi nyaman dan indah. Ah... sayangnya aku tak membawa HPku. Entah di mana HPku.
Ku nikmati keindahan dan kesejukan di sana. Ku lupakan rasa pedihku. Aku ingin tinggal di tempat seperti ini, tanpa takut atau khawatir dengan Nadin, Ari dan Indra.
Ku langkahkan kaki menuju ke sebuah gazebo unik berhias kupu-kupu dan bunga. Tiba-tiba ku lihat sosok Nadin dan Indra di gazebo yang luas ini. Sejak kapan mereka di sini?
Nadin mendekatiku dan memelukku. Di sisinya ada Indra. Ya...Indra yang pernah ku harapkan bisa menjadi pendampingku. Terlihat seperti dulu. Tapi anehnya gelora hatiku tak merasakan getaran seperti dulu kala bertemu dengannya. Mungkin karena keadaannya yang sudah beristri.
Nadin meninggalkan kami. Tak ada perbincangan antara kami. Aku larut dalam pikiranku sendiri. Indra pun tak banyak cerita. Toh kalau dia cerita apapun rasanya sudah tak menarik bagiku.
Aku hanya melihat taman, pepohonan hijau, suara gemericik air dari gazebo. Tenang sekali. Hati menjadi luas.
Ku nikmati keindahan tempat ini. Tak ku sadari Indra sudah tak berada di sini. Mungkin dia buru-buru mau menemui keluarga kecilnya. Ya. Memang itu yang harus dilakukannya. Aku wanita yang punya perasaan dan harga diri. Tak kan ku biarkan diriku menjadi duri dalam daging.
Pandanganku mengelilingi sekitar gazebo. Ah... sampai saat ini aku tak tahu nama tempat ini. Tak ada plakat nama tempat seperti pada destinasi wisata yang kekinian. Sayangnya aku tak bisa mengabadikan keindahan lewat foto.
Di seberang sungai kulihat sosok yang tak begitu asing. Sosok yang tadi di kantor meninggalkan aku begitu saja. Dia menghampiriku. Ku lihat kepedihan di matanya.
Aku masih berpikir tentang penyebabnya. Pasti Nadin menceriterakan kisah cintaku yang tak saling memiliki meski saling mengagumi. Aku tahu Nadin ingin menggagalkan rencanaku untuk menerimanya jadi pendampingku.
Ingin sekali ku jelaskan tentang  semua yang terjadi. Memang selama ini aku tak pernah terbuka bahwa dulu pernah mencintai orang lain. Tapi ku rasakan lidahku kelu. Hatiku menangis. Sakit rasanya. Dan ku yakin dia pun merasakan hal yang sama. Di saat rencana pinangan terjadi, Nadin malah bicara aneh-aneh. Air mata tak kuasa ku bendung lagi.
Ku sembunyikan wajah dan air mataku. Ku memunggunginya. Aku sudah ikhlas kalau kebahagiaan yang kami rancang tak berakhir indah.
Ku dengar dia memanggil namaku dengan pelan. Ku menoleh ke arahnya. Ku kuatkan hatiku untuk menatapnya.
"Maaf, dik. Aku mengabaikanmu beberapa hari tanpa menjelaskan penyebabnya. Juga tak mau bicara denganmu..."
Aku terdiam, ku tundukkan kepalaku. Aku menangis. Aku begitu menantikan suara itu.
"Aku tahu semuanya, dik. Maaf semua pesan di HPmu ku baca tanpa sepengetahuanmu..."
Dalam tangisku, aku tak habis pikir. Kenapa HPku bisa di tangannya? Bukankah kemarin pulang kerja sudah ku masukkan ke tasku?
"Maaf, dik. Aku menyesali kekhilafanku kemarin. Kita pulang ya, dik. Kita wujudkan rencana kita..."
Aku tergugu. Tak tahukah bahwa beberapa hari ini aku ingin memperbincangkan rencana lamaran itu? Tapi dia mengabaikanku.
"Wujudkan rencana kita?", Tanyaku ragu.
Dia menganggukkan kepalanya. Ku menangis bahagia. Diraihnya kedua tanganku. Ku rasakan kehangatan cintanya. Tubuhku yang basah oleh hujan tadi menjadi hangat. Aku bahagia rencana itu akan terwujud.
Tiba-tiba aku seperti terhempas dari tempat indah itu. Pegangan tangannya menyelamatkanku dari hempasan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H