Mohon tunggu...
Jonny Ricardo Kocu
Jonny Ricardo Kocu Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pengajar dan Penulis Lepas

Suka Membaca dan Menulis. Tertarik pada Politik & Pemerintahan, Sosial Budaya, dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Ulasan Buku: Politik Kain Timur - Instrumen Meraih Kekuasaan

28 Maret 2024   16:56 Diperbarui: 28 Maret 2024   23:10 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tulisan lain Baca Juga : Tradisi Kain Timur dalam Praktek Politik Modern  saya telah membuat tinjauan kritis, namun bagian ini saya mengulas mengenai pokok pikiran tiap bab. Sehingga, akan membantu pembaca memahami buku tersebut, bila ingin membaca lebih lanjut. Selamat membaca...... Buku Politik Kain Timur terdiri atas tujuh bab, tiap bab memiliki topik pembahasan tersendiri namun saling berkaitan. Topik tiap bab itu bisa dilihat sebagai berikut :

Bab 1. Tradisi sebagai Instrumen Meraih kekuasaan

Pada bab pertama ini mengulas mengenai kekuasaan dan bagaimana seorang aktor menggalang dukungan, alih-alih menyebut bagaimana mobilisasi dukungan. Kajian buku ini difokuskan pada metode mobilisasi dukungan dengan memanfatka tradisi yang ada di Masyarakat. Pada bab pertama ini juga ditegaskan bahwa kajian mobilisasi ini tidak mengaikan politik identitas, kajian ini lebih berfokus pada pemanfaatakn tradisi oleh seorang aktor dalam meraih kekuasaan dalam mekanisme pemilihan umum. Lokus kajian buku ini di Kabupaten Sorong Selatan, walau penulis dan saya meyakini hal yang sama bahwa tradisi pertukaran kain timur ini berlaku di wilayah kepala burung ( Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Tambrauw, Kabuapten Pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Teluk Bintuni).

Bab pertama ini juga mengulas konsepsi kekuasaan dan mobilisasi dukungan. Seperti di halaman 8-10 mengulas apa itu kekuasaan dan bagaimana memperolehnya. Dilanjutkan dengan mobilisasi dukungan dan sumber daya. Sumber daya sendiri dimaknai sebagai potensi yang dimiliki untuk digunakna dalam meraih tujuan, sebagaimana Andrain (1992:132-135) membagi sumber daya ke dalam lima tipe, yaitu sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. Kelima sumbersaya ini sangat penting dan harus dimiliki oleh seorang aktor, namun ada penegasan bahwa seorang aktor tidak harus memiliki kesemua sumber daya itu, tetapi bisa memiliki beberapa sumber daya saja, yang terpenting adalah bagaimaan efektifitas pengunaan sumber daya itu. Penjelasan bab ini dilanjutkan pada pembahasan mengenai sumber daya, tradisi dan mobilisasi dukungan. Esensi tradi pertukaran kain timur dikupas di sini, dan mobilisasi dukungan dengan mengandalkan sumber daya yang ada. Gambar 1 (halaman 22) sangat jelas mempermudah kita memahami pembahasan mengenai tradisi, sumber daya dan mobilisasi dukungan.

Mengakhiri bab ini, penulis menegaskan bahwa studi ini dalam rangka mengalisis penggalangan dukungan memilah mobilisasi dalam aktivitas pemerintahan, mobilisasi dalam aktivitas sosial kemasyrakatakan dan mobilisasi dalam aktivitas elektoral. Pembahasan aktivitas pemerintahan meliputi bahasan mengenai mobilisasi dukungan di ranah birokrasi dan di ranah politik secara umum.

Pembahasan mobilisasi sosial meliputi pembahasan mengenai pemahaman kandidat non Papua terhadap masyarakat sorong selatan dan bahasan terhadap pemanfaatan pemahaman tersebut dalam upaya memobilisasi dukungan. Pembahasan mengenai mobilisasi dukungan dalam aktivitas elektoral melibuputi bahasan mengenai dukungan dalam aktivitas pencalonaan dan maupun pemenangan dari hari pemungutan/ perhitungan suara. Pembahasan mengenai aktivitas mobilisasi yang telah diurai ini, menurut saya merupakan rincian dari pembahasan inti buku ini.

Bab 2. Masyarakat Sorong Selatan

Pada bab kedua dalam buku Politik kain timur, terdapat empat topik yang dibahas terkait topik utama bab ini. bab ini memaparkan profil singkat Kabupaten Sorong Selatan, dan memaparkan masyarakat Sorong Selatan dari segi etnisitas. Bahasan difokuskan pada ulasan kelompok entis di dalamnya, dilanjutkan bahasan mengenai interaksi kelompok etnis dan diakhiri dengan hasil temuan bahwa “ Kesetian primodial pada mada masyarakat setempat masih relatif kental, dan pada ujungnya hal tersebut menghadirkan sikap ‘Kami’ dan ‘Mereka’ di kalangan masyarakat.

Etnis yang ada di kabuapten sorong selatan teragi dalam dua kelompok besar, yaitu entis asli papau dan etnis pendatang. Entis asli Ppaua yang ada di sorong selatan terdapat tiga kelompok utama yakni etnis Tehit, Imeko dan Maybrat. Sedangkan etnis pendatang sebenarnya bervariasi namun mereka diikat dengan satu kesamaan yakni pendatang/perantau. Untuk interaksi kelompok etnis yang ada di Sorong Selatan bisa dibilang cukup baik, tidak ada gesekan atau konflik berarti atar etnis. Usalan mengenai sikap kami dan mereka bagi saya sangat menarik, karena pada bagian Inilah titik lemah kandidat asli Papua dalam memobilisasi dukungan dibanding kandidat non Papua , alih-alih menyebut kandidat Non papua adalah altenatif diantara sikap kami dan mereka yang tumbuh di masyarakat.

Bab 3. Masyarakat Sorong Selatan dan Tradisi pertukaran Kain Timur

Menurut saya, bab tiga merupakan inti pembahasan mengenai tradisi pertukaran kain timur, artinya penting untuk dipahami pada bab ini, karena akan berpengaruh pada penjelasan bab-bab lanjut.

Ulasan pada bab ini terkait kebiasaan – tradisi masyarakat Sorrong Selatan. Tradisi yang berlaku di masyrakat Sorsel dipaparkan sebagai pengantar, tradisi pertukaran kain timur dan tradisi meramu diulas di sini. Ulasan terkait tradisi pertukaran kain timur meliputi jenis atau ragam, komplesitas, esensi pertukaran kain timur, perbedaan dengan konsep gift ( Mauss dan Hyde). Selain itu diulas pula terkiat tipe kepemimpinnan pria berwibawa atau big man menghadirkan bobot/popot, yakni seorang tokoh yang menjalankan peran pemimpin masyarkata.

Beberapa pokok pikiran penting dalam bab ini : 1) Esensi pertukaran kain timur Pemberian yang diwajibkan pemberian balasan, dengan bunga atau nilai lebih dan berlangsung tampa putus. Hubungan ini saling mengikat dan mengunci kedua belah pihak. 2) Esensi meramu Pilihan antara dua kemungkinan atau kesempatan yang tersedia, mana yang lebih menguntungkan akan dipilih. Dua esesnsi inilah yang menjadikan pokok atau dasar dalam pemanfataan tradisi sebagai instrumen meraik kekuasaan. Pada bab ketiga ini, kita akan tahu bahwa tidak semua pertukaran kain timur bisa diadopsi dan dipraktek dalam mobilisasi dukungan, namun hanya pertukaran tertentu saja.

Tradisi Pertukaran kain timur juga mencakup tiga aspek utama yakni aspek religi, ekonomi dan politik. Bahkan ada penekaan pada halaman 62, bahwa di wilayah kepala burung telah terjadi “ Kapitalisasi Kain Timur” ( Miedema dalam massink, 2002:481). Studi Miedema juga menyatakakan Kain Timur memperoleh nilai ekono yang cukup tinggi sehingga berpengaruh pada kedudukan seseorang dalam masyakat. Sedangkan aspek politiknya jelas, sebagaimana uraian buku ini. aspek religi pun ada, sering dipakai untuk acara ritual bahkan dipercaya dapat menghadirkan arwah.

Tujuan pertukaran kain timur juga bukan untuk mencapai kesejahteraan sosial, melainkan untuk mendapatkan prestise; atau dengan perkataan lain, pertukaran kain timur adalah untuk mencapai kedudukan terpandang dalam masyarakat. Dalam tradisi pertukaran kain timur juga terjadi hubungan yang bercorak asimetris menyerupai hubungan patron-client. Dimana bobot berperan sebagai patron dan anggota masyarakat lain berperan sebagai client. Seperti pemaparan paragraf sebelumnya, sisi pandangan politik bahwa melakukan pemberian kain timur merupakan modal bagi pihak pemberi untuk mengikat pihak penerima, dimana pihak penerima diikat menjadi pendukung guna mencapai tujuan poltik si pemberi.

Pembahasan di bab ini diakhiri dengan penegasan esensi kain timur dan esensi meramu menjadi satu konsep dasar yang digunakan dalam meraih kekuasaan secara khusus memobilisasi dukungan. Halaman 75, esensi tradisi meramu menunjukan bahwa hasil yang lebih baik dan menguntungkan dijadikan bahan pertimbangan seseorang dalam melakukan aktivitas pekerjaan. Dalam kaitannya dengan esensi pertukaran kain timur, pemberian yang diterima adalah pemberian yang dinilai paling menguntungkan baginya. Seseorang akan beralih pada tawaran pemberian lain, apabila tawaran pemberian lain itu memberi hasil yang memuaskan dan menguntungkan baginya.

Bab 4. Otto Ihalauw : Aktor Non Papua dalam Pilkada 2010

Dalam bab ini pembahasan di fokuskan pada salah satu aktor yakni Otto Ihalauw dalam memperebutkan kekuasaan melalui mekanisme Pilkada yang diselenggarakan pada tahun 2010. Pembahasan mengenai latarbelakang keluarga Otto dan perjalanan karier birokrat hingga menjadi bupati sebagai non Papua. Dan dipaparkan juga bagaimana Otto di tengah kelompok etnis asli papua, termasuk pemahaman mengenai tradisi masyarakat, salah satunya tradisi pertukaran kain timur yang akan diadopsi dalam proses perebutan kekuasaan secara khusus mobilisasi dukungan.

Dalam bab ini juga diulas tipe sumbe daya dan sumber daya mana saja yang dimiliki oleh Otto Ihalauw. Yang marik adalah ulasan mengenai asala usul sumber sumber daya (halaman 111), ada sumber daya negara dan sumber daya masyarkat. Jelas posisi Otto sebagai petahana sangat diuntungkan dalam memanfaatkan sumber daya dari negara, seperti memanfaatkan birokrasi sebagai instrumen mobilisasi dukungan, kewenangan mengatur anggaran, proyek pembangunan dan kewenangan lain yang melekat dalam diri beliau sebagai petahana.

Dengan begitu saya melihat petahana memang diunggulkan dalam posisi ini dibanding calon-calon lain, sebagaimana dipertegaskan dalam narasi penutup ( Halaman 116). Sedangkan sumber daya yang berasal dari masyarkat cukup beragam. Sumber daya tersebut berupa kelompok-kelompok etnis, institusi gereja, media massa dan partai politik. Dalam memanfaatkan sumber daya dari masyarakat Otto Ihalauw juga memiliki peluang besar dikarenakan kemampuannya memanfaatkan potensi yang ada.

Bab 5. Partai politik dan pemilihan kepala daerah dalam bingkai politik  politik Kain Timur.

Dalam bab kelima ini dibahas beberapa topik yang terkait judul abb ini antara lain; keberadaan partai politik, partai politik di tengah sikap kami dan mereka, partai politik dalam irama tradisi pertukaran kain timur dan pilkada 2010: kemenangan Otto Ihalauw. Salah satu temuan menarik dalam pembahasan bab ini yakni, ikatan ideologi partai tidak hadir, namun ketokohan lebih diutamakan. Artinya orang tidak melihat partainya tetapi melihat figurnya. Jadi dukungan yang diberikan kepala partai lebih didorong faktor etnis dan marga si calon tersebut. konsekuensinya partai politik cenderung menjadi lemah apabila tokoh atau orang kuat dalam partai pindah ke partai lain atau mengundurkan diri dari partai.

Sehingga loyalitas tehadap aprtai dianggap lemah dibanding loyalitas terhadap figur. Bahkan secara ekstrim dapat dinyatakan kalau partai politik itu bentuk lain dari kelompok etnis atau marga. Sehingga mobilisasi dukungan dalam partai cenderung lemah dan juga lahir sikap kami dan mereka dalam partai politik, partai politik cenderung dilihat sebgaai parrai etnis tertentu atau marga tertentu.

Bab 6. Tradisi pertukaran Kain Timur dan Mobilisasi dukungan 

Dalam bab ini dibahas mengenai tradisi pertukaran kain timur sebgaai instumen memobilisasi dukungan guna meraih kekuasaan, bahasan mengenai topik ini dibagi menjadi dua. Pertama, mobilisasi dukungan dalam aktivitas pemerintah dan masyarakat ; dan kedua, mobilisasi dukungan dalam aktivitas eletoral.

1). Mobilisasi dukungan dalam aktivitas pemerintah dan masyarakat. Bahasan dalam bgaian ini dipilah menajdi tiga bagian yakni analisis mengenai mobilisasi dukungan diranah birokrasi, ranah politik dan ranahm kemasyarkatan. Dengan bekal dukungan normatif sebagai bupati, Otto Ihalauw memnngeluarkan kebijakan pemerintahan dan pembangunan sekaligus untuk kepentingan melakukan mobilisasi dukungan. Kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang dikeluarkan dimaknai sebagai tabungan dan insvestasi yang bisa pada gilirannya menghadirkan dukungan dari masyarakat yang memperoleh manfaaat dari kebijakan-kebijakan itu. Sementara itu, kewajiban melakukan pengembalian bahasan oleh masyarakat sebagai bentuk pelunasan utang kepala Otto Ihawaluh yang telah memenuhi kebutuhan masyarakat melalui kebijakannya.

2). Mobilisasi dukungan dalam aktivitas elektoral.

Uraian diawali dengan bahasan mengenai mobilisasi dukungan awal tahan pencalonan, pembentukan tim sukses dan diakhir dengan bahasan mengenai mobilisasi dukungan untuk mengawal hari pemilihan dan perhitungan suara. Yang menarik pada bgaian ini adalah bagaimana menentukan calon wakil, ternyata pola yang etnisitas dan marga masih dijadikan indikator utama dalam meimilih pasangan colonnya. Begitupun pada tahap membentukan tim sukses, kampanye hingga pemilihan. Semua elemen yang terlibat dalam mobilisasi dukungan dan bekerja untuk kemenangan Otto Ihalauw memaknai relasi mereka sebagaimana tradisi pertukaran kain timur.

Bab 7. Tradisi, Mobilisasi dan Kekuasaan: Sebuah Refleksi

Pada bab ini dikemuakan bahwa mobilisasi dukungan untuk meraih ekkuasaan harus memanfaatkan partai politik. Mobilisasi dukungan bisa dihardikan melalui tradisi pertukaran sebagai inttrumen meraih kekuasaan.

Kajian yang semalam ini dilakukan bahwa mobilisasi dukungan selama ini melalui partai bolitik ( Budiarjo 1981) tidak ditemukan dalam masyrakat Sorong selatan. Karena keberadaan partai politik tumpah tindih bahkan nyaris dan identik dengan keberadaan kelompok etnisitas yang ada di Masyarakat. Sehingga peran partai diambil semua oleh kelompok etnis. Namun ada penegasan menarik pada bab akhir ini bahwa tidak semua tradisi yang ada di masyarkat bisa dimanfaatkan sebagai instrumen memobilisasi. Dan juga penegasan bahwa konsep gift ( Mauss dan Hyde) mirip tapi tidak sama dengan tradisi pertukaran kain timur. Tradisi pertukaran kain timur ada unsur utang-piutang dan unsur menabunng atau invertasi dan berjalan lama dan tidak terputus.

Penegasan penting lain bahwa kemampuan aktor sangta penting dalam mendayagunakan sumber daya menjadi penentu mobilisasi dukungan. Dan temuan menarik lain bahwa tradisi pertukaran kain timur mampu mengikir sikap kami dan mereka dalam masyarakat Sorong Selatan. Di halaman 204 tersedia gambar yang mempermudah kita memahami bagaimana mekanisme hubungan pertukaran yang menghadirkan mobilisasi dukungan dukungan. Bab akhir ini sebenarnya merupakan kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, namun dalam bab ini juga dilengkapi agenda kedepan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas dijawab atau penelitian lanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun