Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Soeharto ke Reformasi dan JK

26 November 2020   18:39 Diperbarui: 26 November 2020   18:43 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin saja kita adalah sebuah bangsa yang terdiri dari orang-orang yang unik dan nyentrik. Salah satu keunikan yang sering disebut adalah bahwa kita adalah bangsa pelupa. Mungkin perlu ditambahkan keunikan lainnya, yaitu kita adalah bangsa yang suka melupakan.

Bangsa pelupa berkaitan dengan kapasitas otak yang tidak mampu menyimpan memori sejarah yang panjang, ini takdir yang buruk. Bangsa yang suka melupakan berkaitan dengan kapasitas mental, yaitu secara sengaja melupakan sesuatu karena sesuatu itu tidak mendukung hasrat dan nafsu bejad, ini nasib buruk. Nasib bukanlah takdir, sebab nasib bisa kita ubah, takdir adalah kehendak yang Maha Kuasa.

Jadi, jika harus memilih satu dari dua julukan itu, saya memilih bahwa kita adalah bangsa yang suka melupakan. Melupakan adalah sebuah pilihan di antara banyak pilihan lainnya.

LUPA ATAU MELUPAKAN, REFORMASI 98

Reformasi 98 memakan korban nyawa yang hilang, bahkan pusara orang-orang yang hilang itu hingga kini tidak diketahui, tetapi saya yakin ada di hati banyak orang.

Tumbangnya rezim ORBA bukan tujuan, tetapi hanya cara agar reformasi bisa dimulai. Dalam benak mahasiswa, reformasi itu adalah perubahan struktur kekuasaan, tetapi yang terutama perubahan paradigma tentang kekuasaan. Paradigma kekuasaan untuk kekayaan harus dihancurkan lalu diubah menjadi kekuasaan untuk pelayanan, sangat mulia sekali.

Di dalam benak para mahasiswa pendobrak kebuntuan itu, perubahan struktur kekuasaan adalah sasaran sekunder, sasaran primernya adalah perubahan paradigma tentang kekuasaan.

Masalahnya adalah para oportunis yang berduyun-duyun masuk melalui pintu reformasi yang susah payah dibuka oleh mahasiswa. Pengalaman panjang berpolitik membuat para oportunis ini dengan mudah mengambil alih gelar pahlawan reformasi dari tangan mahasiswa menjadi miliknya sendiri.

Dan dalam waktu singkat, oportunis-oportunis itu segera melupakan tujuan primer dari reformasi itu sendiri, perubahan paradigma tentang kekuasaan dari kekuasaan untuk kekayaan menjadi kekuasaan untuk melayani. Asiknya berbagi kekuasaan membuat telinga menjadi tuli, reformasi menjadi hanya sekedar re-formasi, sekedar mengisi ulang posisi dan jabatan yang kosong, siapa duduk di mana. Sebenarnya, saat itulah bayi reformasi yang hendak bertumbuh dicekik sampai mati kehabisan nafas, reformasi sudah lama mati bahkan sebelum menginjak usia remaja.

Siapa duduk dimana, berlanjut sampai sekarang, dengan berbagai trik-trik kotor bahkan biadab. Paradigma kekuasaan untuk kekayaan berlanjut hingga kini dan entah sampai kapan di masa depan. Paradigma kekuasaan untuk kekayaan melahirkan sifat yang lain, menghalalkan segala cara demi kekuasaan.

LUPA ATAU MELUPAKAN, PENDERITAAN AWAL KEMERDEKAAN

Sisi baik dari rezim ORBA adalah sangat konsisten terhadap ideologi Pancasila, sisi buruknya adalah ideologi Pancasila dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Keputusan untuk menetapkan ideologi tunggal bersumber dari pengalaman sejarah. Pemberontakan untuk mengubah ideologi, dan pemberontakan untuk memisahkan diri, sangat menguras energi dan keuangan negara sehingga tidak memiliki waktu dan uang untuk membangun kesejahteraan.

Oportunis-oportunis yang masuk setelah mahasiswa mendobrak dan membuka pintu reformasi, lupa atau melupakan dua hal di atas. Mereka lupa atau melupakan bahwa hanya ideologi Pancasila yang dapat mempertahankan wilayah NKRI tetap utuh dari Sabang ke Merauke. Mereka lupa atau melupakan bahwa politik identitas di awal kemerdekaan sangat menghambat pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Maka kini bertaburanlah politik identitas, kesukuan terutama keagamaan. Agama, putra daerah, pribumi-non pribumi menjadi syarat utama.

LUPA ATAU MELUPAKAN, PASAL 27 AYAT (1)

UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) : Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Segala warga negara, maksudnya siapapun, tanpa melihat warna kulit dan rambut, tanpa melihat mata sipit atau mata belok, tanpa melihat tinggi atau pendek, tanpa melihat strata sosial, apakah ulama atau bandit, pejabat atau rakyat biasa, tidak persoalan agamamu apa, apakah engkau seorang professor tua bangka bau tanah, dan entah siapapun kakek buyutmu, dan berapa banyak timbunan hartamu di bumi ini, hukum hanya mengenal satu identitas, yaitu warga negara. Bahkan orang paling dungu sekalipun pasti mampu memahami apa artinya segala warga negara.

Ahok sudah menunjukkan pemahaman yang sangat bagus terhadap Pasal 27 Ayat (1) ini. Sekelompok manusia merasa Ahok menista agama, sedangkan Ahok tidak merasa melakukan itu. Lantas kedua belah pihak maju ke depan hukum meminta keputusan, dan hukum memutuskan Ahok bersalah. Apakah Ahok mengatakan dirinya dizolimi? ... tidak. Negara telah memutuskan, sebagai warga negara Ahok menerima, dan legowo dalam menjalani hukuman.

Seorang ulama diperiksa atas tuduhan mesum, ulama yang lain diperiksa atas tuduhan penganiayaan, ulama lainnya diperiksa atas tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik, mengapa hal seperti ini disebut "menzolimi ulama"? Padahal, datang saja, jelaskan dengan jujur, buktikan bahwa tuduhan itu tidak memiliki dasar, urusan selesai. Hanya itu yang perlu dilakukan.

Tuduhan menzolimi ulama, apakah berasal dari kelompok pelupa yang kapasitas otaknya tidak cukup untuk menyimpan pasal 27 ayat (1), atau dari kelompok yang sengaja melupakan pasal 27 ayat (1) karena didorong oleh hasrat atau nafsu kekuasaan? ... entahlah.

EFEK PELUPA, TUMPAS KELOR

Jika setiap rezim melupakan semua hal tentang rezim sebelumnya, itu akan menjadi masalah besar. Seperti itulah tumpas kelor, menghabisi segala sesuatu yang berkaitan dengan rezim sebelumnya.

Dampak pertama dari sifat tumpas kelor adalah pada setiap pergantian rezim kita akan selalu kembali ke titik nol, kontinuitas dari rezim ke rezim adalah kemewahan.

Sifat tumpas kelor ini sangat mengkhawatirkan, karena berpotensi menyebabkan semua infrastruktur yang sudah dan akan dibangun dengan susah payah pada rezim Jokowi, mendadak berubah menjadi rongsokan oleh rezim berikutnya. Jika hal itu terjadi, dan sangat mungkin terjadi, kita kembali lagi ke titik nol.

Banyak hal baik dari rezim Soeharto, itu harus diakui. GBHN itu sangat bagus, P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) juga adalah hal yang bagus, Soeharto mampu membuat uang kuliah di PTN sangat terjangkau (tahun 1985 - 1990, saya membayar uang kuliah Rp 54.000,- per semester).

Soeharto berhasil ditumbangkan, dan semua yang berkaitan dengan Soeharto dibinasakan, meskipun yang dibinasakan itu sebenarnya sangat bagus. P4 dihapus, akibatnya generasi berikutnya sangat gamang tentang apa itu Pancasila.

PAK JK DAN KEKOSONGAN KEPEMIMPINAN YANG MAMPU MENYERAP ASPIRASI

Menurut pak Jusuf Kalla, kondisi saat ini terjadi karena adanya kekosongan kepemimpinan yang dapat menyerap aspirasi masyarakat luas. Ketika ada seseorang yang kharismatik dan berani menawarkan alternatif, maka dia diikuti oleh banyak orang.

Banyak orang itu berapa orang dari berapa penduduk pak JK?, lantas menurut bapak semua aspirasi apapun itu harus diserap?, lantas mengapa aspirasi OPM tidak bapak serap? lantas mengapa aspirasi GAM tidak bapak serap?

Bahhh ......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun