Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Soeharto ke Reformasi dan JK

26 November 2020   18:39 Diperbarui: 26 November 2020   18:43 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sisi baik dari rezim ORBA adalah sangat konsisten terhadap ideologi Pancasila, sisi buruknya adalah ideologi Pancasila dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Keputusan untuk menetapkan ideologi tunggal bersumber dari pengalaman sejarah. Pemberontakan untuk mengubah ideologi, dan pemberontakan untuk memisahkan diri, sangat menguras energi dan keuangan negara sehingga tidak memiliki waktu dan uang untuk membangun kesejahteraan.

Oportunis-oportunis yang masuk setelah mahasiswa mendobrak dan membuka pintu reformasi, lupa atau melupakan dua hal di atas. Mereka lupa atau melupakan bahwa hanya ideologi Pancasila yang dapat mempertahankan wilayah NKRI tetap utuh dari Sabang ke Merauke. Mereka lupa atau melupakan bahwa politik identitas di awal kemerdekaan sangat menghambat pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Maka kini bertaburanlah politik identitas, kesukuan terutama keagamaan. Agama, putra daerah, pribumi-non pribumi menjadi syarat utama.

LUPA ATAU MELUPAKAN, PASAL 27 AYAT (1)

UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) : Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Segala warga negara, maksudnya siapapun, tanpa melihat warna kulit dan rambut, tanpa melihat mata sipit atau mata belok, tanpa melihat tinggi atau pendek, tanpa melihat strata sosial, apakah ulama atau bandit, pejabat atau rakyat biasa, tidak persoalan agamamu apa, apakah engkau seorang professor tua bangka bau tanah, dan entah siapapun kakek buyutmu, dan berapa banyak timbunan hartamu di bumi ini, hukum hanya mengenal satu identitas, yaitu warga negara. Bahkan orang paling dungu sekalipun pasti mampu memahami apa artinya segala warga negara.

Ahok sudah menunjukkan pemahaman yang sangat bagus terhadap Pasal 27 Ayat (1) ini. Sekelompok manusia merasa Ahok menista agama, sedangkan Ahok tidak merasa melakukan itu. Lantas kedua belah pihak maju ke depan hukum meminta keputusan, dan hukum memutuskan Ahok bersalah. Apakah Ahok mengatakan dirinya dizolimi? ... tidak. Negara telah memutuskan, sebagai warga negara Ahok menerima, dan legowo dalam menjalani hukuman.

Seorang ulama diperiksa atas tuduhan mesum, ulama yang lain diperiksa atas tuduhan penganiayaan, ulama lainnya diperiksa atas tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik, mengapa hal seperti ini disebut "menzolimi ulama"? Padahal, datang saja, jelaskan dengan jujur, buktikan bahwa tuduhan itu tidak memiliki dasar, urusan selesai. Hanya itu yang perlu dilakukan.

Tuduhan menzolimi ulama, apakah berasal dari kelompok pelupa yang kapasitas otaknya tidak cukup untuk menyimpan pasal 27 ayat (1), atau dari kelompok yang sengaja melupakan pasal 27 ayat (1) karena didorong oleh hasrat atau nafsu kekuasaan? ... entahlah.

EFEK PELUPA, TUMPAS KELOR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun