Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Refleksi dari "Cerita Guru di Atas Garis"

22 September 2020   17:28 Diperbarui: 23 September 2020   12:40 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jika tugas guru adalah untuk membuat siswa menjadi pintar, maka yang kita butuhkan bukan guru, tapi mbah google. 

Ungkapan ini saya kutip dari tulisan seorang siswa SMA di media sosial, dan saya pikir, siswa itu betul. Membuat siswa menjadi pintar hanya secuil dari tugas guru, tugas lain yang lebih berat dan mulia terletak dan diletakkan di pundak setiap guru.

Tetapi, menurut pengamatan saya, kandungan makna di dalam kata "guru" semakin lama semakin tereduksi, bersamaan dengan penghormatan terhadap guru yang juga semakin luntur. 

Murid meninju guru, orangtua murid patentengan datang ke sekolah, menantang guru untuk berkelahi, sudah sering terjadi dan semakin biasa. 

Di zaman saya sekolah, murid memukul guru itu bukan hanya tidak mungkin terjadi, bahkan untuk membayangkannya sajapun tidak pernah.

Sistem Pendidikan Nasional turut serta, bahkan berperan besar, dalam mereduksi makna di dalam kata "guru". Sekolah Dasar dinilai berdasarkan persentase kelulusan UN dan jumlah siswanya yang berhasil masuk ke SMP favorit, SMP dan SMA dinilai dengan cara yang sama. 

Sistem Pendidikan Nasional memaksa setiap orang yang berfrofesi guru untuk sekedar menjadi "pengajar". Nilai seorang guru saat ini hanya disajikan pada tabel statistik, dan siapapun yang pernah belajar ilmu statistik dasar pasti bisa memahami bahwa statistik sangat mudah disusupi oleh politik.

Ketika kelas dua SMA di kampung, saya beserta empat orang teman sekelas dihukum oleh guru wali kelas, berdiri di halaman ruang kelas pada pukul sebelas dengan satu kaki selama satu jam, itu karena hari sebelumnya kami bolos pas pelajaran Bahasa Indonesia. 

Bayangkan, matahari sedang sangat terik, berdiri dengan satu kaki pula. Pada saat menjalani hukuman, kami berlima menggerutu dan menganggap sang guru wali kelas kami itu seorang manusia yang kejam tidak berperasaan. 

Puluhan tahun kemudian, saya sadar dan mengerti, itu bukan hukuman, tapi bentuk lain dari rasa sayang sang guru wali kelas. 

Bayangkan, beliau memilih tindakan yang kami benci saat itu demi masa depan kami puluhan tahun ke depan. Beliau sudah memikirkan kami di masa depan, sedangkan di usia saat itu, masa depan adalah sesuatu yang asing bagi kami. 

Andai saat itu kami disuruh memberi nilai pada sang guru, pasti kami beri nilai lima dari skala sepuluh. Tapi puluhan tahun kemudian, nilai sang guru bagi saya adalah sepuluh. Meski sangat terlambat, saya mengucapkan terima kasih yang dalam kepada beliau, dan terutama kepada semua guru.

Ayolah kita jujur mengakui, bahwa sangat banyak nasehat dan hukuman dari seorang guru yang baru bisa kita pahami lama setelah kita meninggalkan sekolah, saat kita mulai berhadapan dengan realitas di kehidupan yang nyata. 

Yang mau saya katakan adalah, menilai keberhasilan seorang guru adalah sesuatu yang sulit, dan sangat tidak relevan jika nilai seorang guru dinyatakan hanya dalam angka-angka statistik. 

Guru adalah inspirator, itulah yang saya pahami saat ini, puluhan tahun setelah saya meninggalkan gedung persekolahan. Ketika mendengar bahwa Nagasaki dan Hirosima luluh-lantak oleh bom atom, sang kaisar Jepang spontan bertanya, berapa jumlah guru yang selamat?

Sebuah buku kecil berjudul "Cerita Guru di Atas Garis" terbit, penerbit ANDI. Buku kecil ini berisi tulisan dari 18 orang mantan siswa, semuanya tentang kesan terhadap guru dan kesan sebagai guru, ke-18 belas tulisan itu memastikan bahwa guru adalah sang "inspirator". 

Semakin lama kita berpisah dengan guru di sekolah, kita semakin bisa mengerti dan makin memahami arti dan nilai seorang guru, kita semakin paham makna dibalik hukumannya, semakin mengerti arti dari nasehatnya.

Umur 16 tahun belum bisa baca tulis, apalagi berhitung. Gedung sekolah (sebenarnya tidak layak disebut gedung) reot, di pekarangan tumbuh semak yang tingginya melebihi dua meter. 

Anak-anak lebih memilih dan lebih suka pergi ke hutan mencari sesuatu yang bisa dimakan atau dijual. Itulah kendala yang dihadapi guru di pedalaman Asmat, Papua. Bukannya menyerah, tetapi sang guru berpikir keras dan pada akhirnya menemukan cara untuk mengembalikan anak-anak ke bangku sekolah, sang inspirator.

Aku capek mengajarimu sampai paham ilmu fisika, justru sekarang kau menjadi hakim, bah? Sia-sialah ilmu yang kuajarkan itu ya, kata seorang guru ketika puluhan tahun kemudian bertemu dengan mantan muridnya. 

Oh.. tidak pak, jawab mantan murid. Inspirasi menjadi hakim saya dapatkan ketika bapak mengajar fisika di kelas saya. 

Ke mana pula itu teori fisika yang mana yang menginspirasi engkau anakku? Tanya si Guru. 

Bukan teori fisika pak, tapi nasehat agar kami murid-murid bapak "tidak pernah menyerah, terus berusaha, selalu berharap, dan lalu doakan". Di tangan guru sang inspirator, pelajaran fisika dapat menjadi inspirasi buat siswa untuk menjadi apapun yang mereka cita-citakan, guru sang inspirator.

Pak guru tangen-cotangen, sebuah julukan. Tetapi ketika mantan murid-murid Pak guru ini berbicara tentang Pak guru tangen-cotangen, yang mereka bicarakan bukanlah tentang tangen apalagi cotangen, tetapi tentang dedikasi, kedisiplinan, kejujuran, dan perhatian yang tulus dari sang guru, itulah yang selalu menginspirasi mantan-mantan murid ini bahkan hingga kini, puluhan tahun sesudahnya, guru sang inspirator.

Guru yang tegas, dan selalu mengawasi dengan wajah keras tak kenal ampun, tidak menyisakan sedikit ruang untuk berleha-leha, kita sebut guru "killer". 

Semakin lama kita berpisah dari sang guru killer, semakin kita berterima kasih terhadap ke-killer-annya, karena kita semakin sadar bahwa sang guru killer itu benar-benar telah membunuh ketidakdisplinan di dalam diri kita, telah membunuh rasa tidak percaya diri yang menyergap kita, telah membunuh rasa rendah diri kita, telah membunuh rasa tidak berdaya kita, dan telah membunuh ketidakpedulian kita akan masa depan.

Seperti itulah isi ringkas dari buku kecil ini, yang diberi judul "Cerita Guru di Atas Garis". Buku sederhana dan apa adanya, kesederhanaan yang diungkapkan secara jujur. 

Buku ini membangkitkan memori ke masa lampau, ke masa-masa sekolah yang penuh kenangan, tangis, tawa, canda, rasa takut, kini semua teraduk menjadi adonan "penghormatan kepada guru, sang inspirator".

Buku kecil ini sangat menarik, dan kita semua mantan-mantan murid perlu membacanya, sebab kita semua semestinya menjadi "guru" juga, apapun profesi kita saat ini, kita para mantan murid adalah "guru".

KITA SEMUA HARUS MENJADI GURU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun