Mohon tunggu...
Jonnattan
Jonnattan Mohon Tunggu... Lainnya - HAI

UAJY 2020

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Meresahkan, Perfilman Indonesia Dinilai Buruk, Benarkah?

19 Desember 2020   21:50 Diperbarui: 19 Desember 2020   21:56 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia telah dikenal dengan kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan pariwisatanya yang unggul di manca negara, salah satunya negara – negara Asia Tenggara. Potensi yang dimiliki oleh Indonesia, membuat Industri kreatifnya ikut berkembang dan dapat menyaingi negara – negara di Asia.

Industri kreatif yang dipercaya oleh pemerintah di Indonesia karna dapat berpotensi tinggi bagi perkembangan negara adalah industri perfilman. Industri perfilman sejak akhir abad 80-an sudah mendapatkan tempat spesial di masyarakat Indonesia dengan aneka judul film dari Suzzana dan Warkop DKI.

Pada abad 20-an, film – film di Indonesia bergenre romantis mulai meningkat, yang ditandai dengan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) pada tahun 2001, lalu pada tahun 2008 film yang bergenre petualang, seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan 5 cm mulai menjadi penggemar bahkan melesat ke kancah internasional. Setelah itu, film dengan genre komedi, seperti Marmut Merah Jambu, Cek Toko Sebelah, dan Hangout mulai berlomba – lomba menarik penonton.

Kemudian, film genre horror mulai digemari lagi ditahun 2017, film horror ditandai dengan keluarnya film Danur, belum ada yang bisa menandingi film dari Manoj Punjabi pada saat itu. Para produser berlomba – lomba memproduksi film dengan genre yang sama. Hingga perusahaan Max Picture berani menyaingi dengan film nya yang berjudul Keluarga Tak Kasat Mata.

Berlanjut dengan film – film adaptasi dari novel yang terkenal dan remake dari tahun 80 hingga 90-an, seperti Dear Nathan, Dilan 1991, Nanti Kita Cerita Hari Ini, juga ada Pengabdi Setan, Suzzana: bernapas dalam kubur, Bebas, dan masih banyak lagi.

Beberapa produser industri kreatif perfilman di Indonesia memproduksi film berdasarkan apa yang tengah menjadi trending, sambil menjawab tantangan dari berbagai pihak seturut perkembangan jaman. Dan juga mengejar target pemasaran film – film. Bukan berdasarkan ciri khas sebuah perusahaan atau para produser tersebut.

Namun, masih ada produser berprestasi Indonesia yang tetap mempertahankan ciri khas dalam sebuah film yang diproduksi. Salah satunya, seperti Joko Anwar dan Ernest Prakasa.

Tak hanya itu, para pemain film tanah air atau aktris dan aktor Indonesia ikut menjawab tantangan di era sekarang dengan mulai berkolaborasi dengan para pemain negara lain dalam suatu projek film luar negeri. Sehingga, setiap tahunnya berbagai macam acara sebuah ajang penghargaan yang didedikasikan untuk film, short movie, sutradara, produser, aktris, aktor, dan pemeran pendamping terbaik di tanah air.

Di Balik Permasalahan

Dalam sejarah industri perfilman di Indonesia, terutama selama dua dekade yang lalu, industri perfilman di Indonesia terperosok sangat dalam. Hal ini bukan lain disebabkan karena industri perfilman di Indonesia yang tidak bisa menahan arus film impor dari negara lain. selain itu, persoalan biaya, sumber daya alam dan manusia serta kebijakan pemerintah.

Aktifitas mengimpor film menyebabkan terjadinya kerjasama dengan  pengusaha bioskop nasional, sehingga pengusaha film bioskop lebih memilih film – film luar negeri, dikarenakan lebih menjanjikan. Fenomena tersebut disebabkan tidak adanya regulasi yang ketat dari pemerintah untuk membatasi masuknya film impor. 

Pemerintah bersikap permisif terhadap masuknya film dari negara lain dalam meningkatkan produksi film nasional. Kondisi ini sempat membuat industri film dalam negeri pada tahun 1950-an tertinggal jauh dengan industri film barat (Hollywood) dan India (Bollywood). Selain berkompetisi dengan film Hollywood, industri perfilman di Indonesia juga dihadapkan dengan masuknya DVD atau VCD bajakan dengan harga yang sangat terjangkau.. 

Maka dari itu, permasalahan ini berkaitan dengan kolusi aparat pada pihak pembajak film. Tidak hanya itu, industri perfilman dalam sektor perekonomian Indonesia mendapat ancaman sejak beberapa film nasional dihadapkan pada tayangan film gratis oleh stasiun televisi swasta sejak tahun 1990-an.

Sejak saat itu, industri perfilman Indonesia mulai memperbaiki kualitasnya sedikit demi sedikit. Walaupun dalam tahapan dan prosesnya masih ada pertentangan dan larangan dalam memproduksi sebuah film. Meskipun kini industri perfilman di Indonesia sedang menunjukan kualitasnya, namun masih terdapat beberapa tantangan menurut Fauzan Zidni, Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI). Fauzan beranggapan bahwa masih ada tiga masalah yang sedang dihadapi industri perfilman di negeri ini, antara lain :

  • Kurangnya sekolah perfilman di Indonesia yang menjadi penyebab kualitas profesi di bidang ini menurun
  • Akses dan fasilitas gedung bioskop yang kurang merata di berbagai daerah di Indonesia
  • Pembajakan film yang menyebar luas

Hal tersebut diakibatkan kurangnya pendidikan dan pengetahuan mengenai hak kekayaan intelektual di dalam dunia perfilman sebagaimana mestinya, sehingga kesadaran masyarakat dalam mendukung film – film tanah air juga berkurang.

Industri perfilman di Indonesia yang sedang dalam tahap perkembangan juga dapat mengancam pengusaha importir film dan menyebabkan terjadinya pertarungan bisnis antara pengusaha film asing dan film lokal. Ini merupakan salah satu tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk bergerak dalam menyebarluaskan pendidikan seputar perfilman diseluruh tanah air.

Dengan harapan, kondisi industri perfilman yang baik juga akan semakin berkembang, jika sumber dayanya sebagai sineas pada bidang film berfikir lebih kritis dan terbuka mengenai bagaimana meningkatkan kualitas film yang diproduksi agar mampu bersaing dengan industri perfilman internasional.

Kabar Baik Permasalahan

Namum dibalik semua sisi negatif yang sudah ada diatas, kita juga mempunyai berbagai keunggulan. Salah satunya dengan apa yang terjadi saat ini, produser dan perusahaan film di Indonesia berinisiatif untuk membuat karya – karya dengan genre yang berbeda. Ada berbagai macam film Indonesia yang tengah trending belakangan ini, seperti film Bucin karya Chandra Liow dan Story Of Kale yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko.

Di tahun sebelumnya, film – film Indonesia yang marah adalah film bergenre horror, akan tetapi semakin berkembangnya industri perfilman Indonesia, maka perlahan – lahan mencoba untuk mengenalkan penonton setia bioskop dengan hadirnya selebgram terkenal. Dimana, justru lebih menghasilkan banyak penggemar dari kalangan artis papan atasm selebriti tanah air, youtuber, sesama selebgram dan pastinya fans atau penggemar setia mereka dalam film – film tersebut.

Akan tetapi, dikarenakan maraknya pembajakan perfilman di Indonesia menjadikan sangat sulit untuk mengalami perkembangan. Sehingga anak – anak kreatif bangsa Indonesia, seperti Angga Dwimas sebagai sutradara film sekaligus mengeluarkan ide nya dengan membuat website tontonan film Indonesia yang ekslusif secara legal, yakni Bioskop Online.

Kemajuan ini merupakan hal yang positif di bidang ekonomi dan sumber daya. Bioskop Online dengan harganya yang lebih terjangkau berkisar Rp 10.000,00 – Rp 15.000,00. Kelebihan lainnya dengan layanan streaming online iberbasis web itu banyak orang – orang pengangguran mendapat pekerjaan untuk mengurus hal – hal seputar website hingga mempromosikan website streaming tersebut.

Dengan munculnya film film karya anak bangsa, masyakarat Indonesia lebih mendapatkan banyak pilihan film untuk ditonton dan diharapkan untuk tidak membajak film - film buatan anak bangsa yang dapat membantu perekonomian negara serta mengapresiasi kreatifitas dan kerjakeras para produser, sutradara, dan para pemain Indonesia.

Sebuah Solusi

Dengan demikian, setelah mengetahui berbagai bentuk kekurangan dalam industri perfilman milik bangsa, perlu diketahui bahwa diperlukan adanya upaya dan dukungan untuk mencapai kembali dimasa kejayaan perfilman Indonesia. Tak hanya upaya internal melalui perbaikan dalam proses produksi itu sendiri, tetapi juga diperlukan adanya dukungan eksternal dari pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri.

Peran pemerintah merupakan salah satu faktor pendukung terbesar yang seharusnya terus ditingkatkan agar industri perfilman Indonesia dapat berkembang dan memiliki kualitas yang semakin baik. Peranan pemerintah dalam ikut membangun insdutri ini, dapat dimulai dari pengawasan yang ketat terhadap kepemilikan hak cipta dan kasus pembajakan yang terus ada di Indonesia.

Pemerintah harus mulai tegas dalam menetapkan peraturan dan sanksi yang jelas bagi para oknum ilegal dan secara sengaja telah membajak film – film Indonesia yang berdampak buruk bagi pihak produksi. Selain itu, pemerintah hendaknya mendukung film – film karya anak bangsa yang diputar di bioskop dengan cara memberikan pajak yang lebih tinggi pada film asing dibandingkan film lokal. Dengan begitu, masyarakat akan mulai mempertimbangkan untuk menonton film lokal.

Namun itu saja tidak cukup, pemerintah juga harus ikut andil menjadi fasilitator bagi pihak produksi agar karya – karyanya dapat lebih bermutu. Anak – anak kreatif bangsa Indonesia pun sudah memperlihatkan dari karyanya melalui film yang diproduksi dengan menyumbangkan rating yang baik. Bahkan, masih banyak karya – karya kreatif lain yang kurang mendapat sorotan pemerintah, sehingga beberapa tidak dijamah, dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat Indonesia.

Hal ini perlu ditingkatkan penyedia wadah bagi film – film di Indonesia, menampung potensi anak-anak bangsa ini melalui festival nasional, adanya komunitas – komunitas perfilman juga yang mendapat dukungan fasilitas dan ruang untuk menunjukkan karya – karyanya.

Kurangnya peran pemerintah dalam meningkatkan peran badan perfilman Indonesia (BPI) yang dinilai lambat oleh masyarakat dan menimbulkan perdebatan mengenai penyensoran sebuah film. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa hal tersebut diperlukan terutama seputar publikasi yang mengandung pornografi.

Tetapi, untuk sebagian masyarakat milenial menyatakan tidak perlu sensor film agar tidak merusak seni dan budaya sebuah film. Maka dari itu, seharusnya perlindungan dari pemerintah terhadap perfilman nasional dapat bekerja sama dengan lembaga – lembaga terkait hal ini untuk menelaah kembali dalam pembuatan dan penayangan sebuah film demi kenyamanan para penggemar film.

Dan juga belum optimalnya penggunaan sumber daya alam demi kemajuan film nasional atau lokal dimana masih adanya campur tangan dari pihak asing. Hal tersebut dapat diatasi dengan kerjasama bersama Menteri Pariwisata dan Budaya Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya alam untuk dimasukkan ke dalam unsur sebuah film, yang bertujuan juga agar kekayaan tanah air lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Kontribusi antara pemerintah, masyarakat sebagai penggemar film – film bioskop, para produser, aktris dan aktor dengan perusahaan atau rumah produksi berbagai film perlu ditingkatkan. Bukannya saling mengevaluasi satu sama lain dengan mengeluarkan berbagai strategi untuk kepentingan posisinya.

Tetapi dengan mengevaluasi pribadi sendiri, meninjau kembali strategi yang dilakukan, apakah dapat menguntungkan secara general dan apakah hal tersebut sudah cukup untuk membangun serta meningkatkan sektor perfilman, perekonomian, sekaligus pariwisata bangsa Indonesia.

Albert Jackson Gerson Murib, Bernadetha Christy Herdantia, Ester Yulia Prastika, Jonnattan Rikard, dan Nico Prakasa Anandadea; Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UAJY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun