Mohon tunggu...
Jon Hardi
Jon Hardi Mohon Tunggu... Pengacara - ADVOKAT

Alumnus Fak. Hukum Univ. Andalas Padang lulus 1990.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Para Calon Presiden Mempolitisasi Agama?

28 November 2022   11:41 Diperbarui: 28 November 2022   11:52 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

APAKAH PARA CALON PRESIDEN MEMPOLITISASI AGAMA?

 

Pesan Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo (Pak Jokowi) pada pembukaan rapat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Solo, beberapa hari yang lalu, tegas sekali, agar calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) jangan membawa politik SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Jangan mempolitisasi agama. Sangat berbahaya, pesan beliau.

Penulis sengaja  menggarisbawahi kata mempolitisasi agama. Walapaun Pak Jokowi tidak mau menyebutkan siapa capres dan cawapres dimaksud. "Saya tidak menyebutkan nama, tapi sebagian hadir pada acara ini", kata beliau pada acara tersebut yang dihadiri Ganjar Pranowo, Puan Maharani dan Erick Thohir. Kita "hanya" bisa menduga, siapa capres dan cawapres yang dimaksud Pak Jokowi.

Kali ini kita fokus saja kepada nama-nama yang mencuat sebagai capres 2024, yaitu Prabowo Subianto (PS), Ganjar Pranowo (GP), Puan Maharani (PM)) dan Anies Rasyid Baswedan (ARB). Dari keempat tokoh ini, baru ARB yang sudah dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Sedangkan PS, GP dan PM mungkin menunggu saat yang tepat. PS dan GP secara terang-terangan telah disebut Pak Jokowi menjadi capres penerusnya. 

Kenapa Pak Jokowi sengaja menyampaikan pesan tersebut, tentu Pak Jokowi yang paling tahu. Apakah Pak Jokowi melihat tanda-tanda para capres (capres tertentu?) melakukan politisasi agama dalam upaya meraih kursi RI-1? Mari kita simak sepak terjang para capres selama karir politiknya dan saat mulai digadang-gadang menjadi capres berikut ini.

Pemahaman Politisasi Agama

Karena susah mencari jawaban yang tepat, kita lupakan dulu pesan Pak Jokowi. Kita melihat, apakah betul politisasi agama itu barang haram dan "sangat berbahaya"? Siapakah capres yang terindikasi pernah dan berpotensi melakukan politisasi agama? Kita mulai dari terminologi politisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI), poiitisasi berarti "hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dsb) bersifat politis". Berarti politisasi agama adalah "hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dsb) bersifat politis agama". Agama di sini bisa menjadi objek, menjadi alat/sarana ataupun menjadi tujuan.

Politisasi Agama, Agama Sebagai Objek

Agama merupakan objek yang paling seksi, sekaligus paling rentan untuk dipolitisasi. Ciri-ciri politisasi dengan menjadikan agama sebagai objek sangat mudah terbaca. Mulai dari keberpihakan secara mencolok terhadap suatu agama dengan mendiskreditkan agama lain, keberpihakan terhadap suatu aliran dalam satu agama dengan mendiskreditkan aliran yang lain, sampai kepada diskriminasi terhadap umat penganut agama, dan adu domba antar umat beragama, atau antar aliran dalam suatu agama.  

Sejarah dunia mencatat betapa modus ini menjadi lahan subur bagi seseorang untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Mulai dari Aung San Su Kyi "membiarkan" kerusuhan umat Budha terhadap umat Islam di Rohingya (Miyanmar), para pemimpin India dan Pakistan tidak berusaha meredam konflim Hindu dengan Silam, pemimpin Israel-Palestina terlibat konflik Yahudi-Islam di Paletina, sampai pemimpin Irak dan Iran terlibat perang antara Islam Sunni dengan Syi'ah. Di Indonesia taktik ini dilakukan oleh pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Stigmatisasi buruk terhadap suatu agama digaungkan untuk menutupi tindakan teror nyata yang dilakukan oleh negara pencipta stigma tersebut.

Saat ini di Indonesia penggorengan isu agama semakain nyata dan massif. Aliran agama tertentu dalam Islam dipersepsikan sebagai intoleran, anti kebhinnekaan, radikal. Sementara aliran lain dianggap sebagai manifestasi dari konsep Islam rahmatan lil'alamiin. Umat Islam yang menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadist dicap radikal, sedangkan umat Islam yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain dianggap toleran dan mencerminkan kebhinnekaan. Kalau ada tokoh Islam yang melakukan tindak pidana, walaupun tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam, digoreng sampai gosong untuk mendiskreditkan Islam. Sementara jika pelakunya tokoh agama lain malah senyap.

Nah, kalau capres dan/atau cawapres memanfaatkan agama sebagai objek politisasi seperti ini, maka capres atau/atau cawapres tersebut layak masuk kategori yang disampaikan Pak Jokowi, yakni kategori "berbahaya". Jangan diberi ruang gerak, jangan dipilih.

Apakah ada capres yang melakukan pola ini? Berdasarkan pengamatan penulis, PS, GP dan PM tidak memiliki rekam jejak telah melakukannya.

Bagaimana dengan ARB? Masyarakat bisa menilai sendiri. Penulis, dari sudut pandang objektif, mohon izin memberikan Analisa sebagai berikut:

Pertama, ARB dihubungkan dengan demo anti Ahok tanggal 4 Nopember 2016 (Aksi 411) dan demo kedua tanggal 2 Desember 2016 (Aksi 212). Padahal ARB sama sekali tidak berperan. Aksi 411 dan 212 hanya tertuju kepada Ahok pribadi, dan tuntutannya juga agar Ahok diproses secara hukum Tidak pernah tercetus sentimen anti Kristen dan anti Tionghoa. Buktinya, pada saat demo 212 di depan Gereja Katedral Lapangan Banteng, penganten yang nikah di gereja justru dikawal demonstran agar aman.

Kedua, Pada pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta tahun 2017, ARB didukung oleh Prabowo, pimpinan Partai Gerindra, sebuah partai nasionalis.  Kebetulan, ARB yang muslim, keturuan Arab, mengalahkan Ahok yang non muslim dan keturunan Tionghoa. Tapi oleh pendukung Ahok pilgub tersebut dicap sebagai hasil polarisasi muslim dan non muslim. Kubu ARB dianggap mempolitisasi agama (istilahnya menjual ayat dan mayat), dan memanfaatkan sentimen agama gara-gara Ahok dinilai menistakan Islam. Padahal kenyataannya, berdasarkan survey yang pernah dibacakan Ustad Haikal Hasan (Babe Haikal) pada Indonesia Lawyers Club TV One, tidak ada satupun pemilih non muslim yang memilih ARB, sementara banyak pemilih muslim yang memilih Ahok.

Ketiga, track record selama 5 tahun memipin DKI, tidak ditemukan bukti, baik dari berbagai peraturan daerah (Perda) DKI, kebijakan ARB atau statement ARB, yang mengindikasikan ARB menjadikan agama sebagai objek politisasi. Justru semua agama merasa diayomi oleh ARB. ARB menjaga jarak yang sama dengan semua agama dan dengan semua pemeluk agama. Sangat berbeda dengan tindakan Ahok sewaktu jadi gubernur DKI yang dirasakan kurang menguntungkan umat Islam Jakarta.

Keermpat, walaupun dicap sebagai politik identitas, belum pernah ada statement ARB akan mengutamakan syariat Islam sebagai ruhnya dalam menjalankan kekuasaan jika terpilih kelak. ARB hanya akan menjalarkan semangat kolaborasi Jakarta menjadi kolaborasi Indonesia. 

Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa ARB, seperti hanya PS, GP dan PM, tidak terbukti melakukan politisasi dengan menjadikan agama sebagai objek.

Politisasi Agama, Agama Sebagai Alat/Sarana

Capres, cawapres, juga calon legislatif, biasanya memanfaatkan agama sebagai alat/sarana untuk menarik simpati umat suatu agama. Tujuannya, agar dia dipersepsikan dekat dengan agama. Caranya, memakai simbol-simbol agama. Misalnya, calon wanita yang biasanya nampak rambut nampak betis tiba-tiba berpakaian muslimah dengan jilbab/kerudung. Calon pria, yang biasanya tampil biasa, tiba-tiba berkopiah, berbaju taqwa dan bersorban. Biasanya beredar di "luar" tiba-tiba rajin mendatangi pondok pesantren, minta restu kiyai/pemuka agama, dan Majelis Ta'lim. Biasanya rada pelit tiba-tiba rajin menyumbangi masjid atau panti asuhan. Tingkah seperti ini dilakukan juga oleh  calon non muslim.

Seorang capres, yang ketika diragukan keislamannya, buru-buru naik hajji, dan di depan namanya harus ditulis Hajji (H) atau Hajjah (Hj). Waktu kampanye, para juru kampanye suka mengutip ayat-ayat Al Quran, spanduk dan baliho memuat tulisan Al Quran. Cara seperti ini pernah disindir oleh Da'I Sejuta Umat K.H. Zainuddin M.Z.: "saat kampanye rajin baca ayat kursi, setelah dapat kursi lupa dengan ayat". 

Apakah para capres sekarang melakukan pola ini? Berdasarkan pengamatan Penulis, pola ini tidak nampak pada PS, GP dan ARB. Kalaupun memakai atribut Islam pada momen khusus hari besar Islam, bertemu organisasi Islam/pemuka agama, kegiatan ibadah, sah-sah saja mereka memakai atribut Islam. Yang kelihatan berubah adalah PM, yang sehari-hari "tidak berjilbab", tiba-tiba tampil berjilbab walaupun dalam momen biasa. Penampilan tiba-tiba Islami juga pernah ditunjukkan oleh Pak Jokowi-Bu Iriana waktu pencapresan pertama tahun 2014. Bahkan Ahok dan Hary Tanoesudibyo, yang notabene non Muslim juga pernah melakukannya.  

Apakah tindakan ini berbahaya? Menurut Penulis, tidaklah berbahaya, tapi masuk kategori "siasat" yang bisa mempengaruhi (baca: mengelabui) persepsi publik.

Politisasi Agama, Agama Sebagai Tujuan

Dalam kategori ini capres akan memperjuangkan agamanya dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara jika menang nanti. Apakah pola ini berbahaya?

Bukankan sejarah mencatat, banyak pemimpin negara yang sangat getol memperjuangkan agamanya menjadi sumber aturan negara?. Mulai dari kekaisaran Romawi yang memperjuangkan Katolik, raja/ratu Inggris menjadi Pembina Gereja Anglikan, pemimpin India mati-matian membela Hindu, raja-raja di jazirah Arab menerapkan syariat Islam. Raja Qatar memanfaatkan momen Piala Dunia 2022 untuk mempromosikan Islam. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush sangat getol memperjuangkan Kristen, sampai-sampai menyebut "Perang Salib" saat menyatakan perang terhadap Osama bin Laden dan Al Qaeda-nya.

Di Indonesia, adanya perlawanan dari Teuku Umar, Pangeran Diponegoro terhadap Belanda bukan hanya karena ingin mengusir penjajah, tapi juga sebagai bentuk perlawanan atas nama agama, karena penjajah juga membawa misi agama. Bung Karno pernah berujar, jika umat Islam ingin memperjuangkan Islam, berjuanglah melalui parlemen. Gus Dur pernah berujar, Indonesia tidak akan menjalankan hukum Islam, tapi membuat hukum positif Indonesa dengan mengadopsi hukum Islam. Gubernur Bali, sebagai penganut Hindu, wajar saja menerapkan ajaran Hindu dalam mengatur Bali, yang penduduknya mayoritas Hindu. Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) merasa perlu menerapkan ajaran Katolik dalam mengatur daerahnya yang mayoritas Katolik.

Jadi, politisasi agama dengan menjadikan agama sebagai tujuan, menurut Penulis, adalah wajar, karena masing-masing agama mengajarkan pemeluknya untuk "berjihad" memperjuangkan agamanya melalui kekuasaan. Apalagi terhadap agama mayoritas penduduknya. Sepanjang dilakukan secara konstitusinal dan tetap melindungi kelompok minoritas, berada dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat kebhinnekaan,  ruh Pancasila dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Bukankah para pendiri negara (founding father) kita juga memperjuangkan agamanya masing-masing, yang hasilnya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila? Bukankah lahirnya Undang-Undang (UU) Perkawinan, UU Zakat, penerapan ekonomi syariah, adanya daerah otonomi Nanggro Aceh Darussalam berbasis Islam dan Daerah Otonomi Papua berbasis Kristen adalah hasil politisasi agama yang menjadikan agama sebagai tujuan?

Apakah PS, GP, PM dan ARB terindikasi melakukan politisasi agama dengan menjadikan agama sebagai tujuan?

Sejauh pengamatan Penulis, baik PS, GP, PM, maupun ARB tidak melakukannya. Mereka lebih menampakkan ajaran agama sebagai ranah pribadi. Seperti kata Ustad Abdul Somad, bisa jadi seorang pemimpin itu rajin shalat, baik shalat wajib maupun tahajjud, rajin puasa sunah, rajin bersedekah. Kalau hanya amalan seperti itu, bukan hanya Pemimpin, rakyat pun orang bisa.

GP dan PM sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), selama ini berusaha sejalan dengan garis partai, mengusung jati diri nasionalis sejati. Sewaktu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak terdengar langkah mereka mengusung Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memperjuangkan syariat Islam. Masih segar dalam ingatan kita PDIP melakukan walk out saat pembahasan RUU yang menghargai syariat Islam, seperti RUU anti pornografi dan pornoaksi. Selama PM menjadi Ketua DPR pun tidak terdengar DPR menginisiasi RUU bernuansa Islam.

GP selama menjabat Gubernur Jawa Tengah, lebih mengedepankan kebijakan sebagai nasionalis. Belum terdengar GP melahirkan kebijakan yang pro syariat Islam. Bahkan GP melakukan tindakan yang terkesan kurang memihak syariat Islam, seperti menegur seorang guru yang mengajurkan murid wanitanya memakai jilbab, tidak memberikan pembelaan terhadap ulama (UAS, Khalid Basalamah) yang dipersekusi tidak boleh berdakwah di Jateng.

ARB juga setali tiga uang. Selama menjabat gubernur DKI, ARB lebih menampilkan kebijakan sebagai nasionalis sejati. Memberikan fasilitas yang sama terhadap semua agama dan terhadap semua penganut agama. Seandainya ARB memberikan koreksi terhadap kebijakan Ahok dalam kegiatan keagamaan Islam, seperti membolehkan kembali pemanfaatan Monas untuk kegiatan pengajian, menghidupkan kembali malam takbiran dan takbir keliling, memanfaatkan Jakarta International Stadium (JIS) untuk kegiatan shalat Ied, di  saat yang sama ARB juga mempermudah pembangunan gereja, pura dan wihara, memberikan kebebasan umat Kristen, Hindu dan Budha merayakan hari besar agamanya secara terbuka. Nyaris tidak ada Perda DKI yang sarat syariat Islam.

Kategori nasionalis sejati inilah yang dicerminkan Pak Jokowi selama menjabat presiden. Beliau, menurut orang dekatnya, sangat rajin shalat dan puasa sunat, tapi kebijakannya tidak banyak didedikasikan untuk kemajuan Islam. Hampir tidak ada UU baru yang diadopsi dari syariat Islam. Malah di masa pemerintahan Pak Jokowi terjadi "anulir" Perda-perda yang bernuansa syariat Islam. Di zaman pemerintahan Pak Jokowi-lah lahirnya istilah Islam radikal, intoleran, anti kebhinnekaan dan pembubaran ormas Islam (HTI dan FPI), terkesan membiarkan para buzzers menista Islam. Kalaupun ada "sedikit" penampakan kebijakan yang pro syariat Islam, hanyalah sebatas membolehkan Wanita TNI dan Polri memakai hijab dan merenovasi Mesjid Istiqlal.

Kesimpulan

Kesimpulan, sepanjang pengetahuan Penulis, semua capres (PS, GP, PM dan ARB) tidak memiliki rekam jejak melakukan politisasi agama dalam kategori "berbahaya" yang menjadikan agama sebagai objek.. Kalau kategori menjadikan agama sebagai alat/sarana, atau menjadikan agama sebagai tujuan masih wajar-wajar saja dan tidak masuk kategori "membahayakan".

Semoga isu politisasi agama tidak lagi dimunculkan dalam konteks "ketakutan" terhadap para capres. Kepada para capres, selamat berkompetisi secara sehat. Semoga mampu menorehkan sejarah bangsa dengan tinta emas .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun