Saat ini di Indonesia penggorengan isu agama semakain nyata dan massif. Aliran agama tertentu dalam Islam dipersepsikan sebagai intoleran, anti kebhinnekaan, radikal. Sementara aliran lain dianggap sebagai manifestasi dari konsep Islam rahmatan lil'alamiin. Umat Islam yang menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadist dicap radikal, sedangkan umat Islam yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain dianggap toleran dan mencerminkan kebhinnekaan. Kalau ada tokoh Islam yang melakukan tindak pidana, walaupun tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam, digoreng sampai gosong untuk mendiskreditkan Islam. Sementara jika pelakunya tokoh agama lain malah senyap.
Nah, kalau capres dan/atau cawapres memanfaatkan agama sebagai objek politisasi seperti ini, maka capres atau/atau cawapres tersebut layak masuk kategori yang disampaikan Pak Jokowi, yakni kategori "berbahaya". Jangan diberi ruang gerak, jangan dipilih.
Apakah ada capres yang melakukan pola ini? Berdasarkan pengamatan penulis, PS, GP dan PM tidak memiliki rekam jejak telah melakukannya.
Bagaimana dengan ARB? Masyarakat bisa menilai sendiri. Penulis, dari sudut pandang objektif, mohon izin memberikan Analisa sebagai berikut:
Pertama, ARB dihubungkan dengan demo anti Ahok tanggal 4 Nopember 2016 (Aksi 411) dan demo kedua tanggal 2 Desember 2016 (Aksi 212). Padahal ARB sama sekali tidak berperan. Aksi 411 dan 212 hanya tertuju kepada Ahok pribadi, dan tuntutannya juga agar Ahok diproses secara hukum Tidak pernah tercetus sentimen anti Kristen dan anti Tionghoa. Buktinya, pada saat demo 212 di depan Gereja Katedral Lapangan Banteng, penganten yang nikah di gereja justru dikawal demonstran agar aman.
Kedua, Pada pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta tahun 2017, ARB didukung oleh Prabowo, pimpinan Partai Gerindra, sebuah partai nasionalis.  Kebetulan, ARB yang muslim, keturuan Arab, mengalahkan Ahok yang non muslim dan keturunan Tionghoa. Tapi oleh pendukung Ahok pilgub tersebut dicap sebagai hasil polarisasi muslim dan non muslim. Kubu ARB dianggap mempolitisasi agama (istilahnya menjual ayat dan mayat), dan memanfaatkan sentimen agama gara-gara Ahok dinilai menistakan Islam. Padahal kenyataannya, berdasarkan survey yang pernah dibacakan Ustad Haikal Hasan (Babe Haikal) pada Indonesia Lawyers Club TV One, tidak ada satupun pemilih non muslim yang memilih ARB, sementara banyak pemilih muslim yang memilih Ahok.
Ketiga, track record selama 5 tahun memipin DKI, tidak ditemukan bukti, baik dari berbagai peraturan daerah (Perda) DKI, kebijakan ARB atau statement ARB, yang mengindikasikan ARB menjadikan agama sebagai objek politisasi. Justru semua agama merasa diayomi oleh ARB. ARB menjaga jarak yang sama dengan semua agama dan dengan semua pemeluk agama. Sangat berbeda dengan tindakan Ahok sewaktu jadi gubernur DKI yang dirasakan kurang menguntungkan umat Islam Jakarta.
Keermpat, walaupun dicap sebagai politik identitas, belum pernah ada statement ARB akan mengutamakan syariat Islam sebagai ruhnya dalam menjalankan kekuasaan jika terpilih kelak. ARB hanya akan menjalarkan semangat kolaborasi Jakarta menjadi kolaborasi Indonesia.Â
Dengan demikian, dapat dismpulkan bahwa ARB, seperti hanya PS, GP dan PM, tidak terbukti melakukan politisasi dengan menjadikan agama sebagai objek.
Politisasi Agama, Agama Sebagai Alat/Sarana
Capres, cawapres, juga calon legislatif, biasanya memanfaatkan agama sebagai alat/sarana untuk menarik simpati umat suatu agama. Tujuannya, agar dia dipersepsikan dekat dengan agama. Caranya, memakai simbol-simbol agama. Misalnya, calon wanita yang biasanya nampak rambut nampak betis tiba-tiba berpakaian muslimah dengan jilbab/kerudung. Calon pria, yang biasanya tampil biasa, tiba-tiba berkopiah, berbaju taqwa dan bersorban. Biasanya beredar di "luar" tiba-tiba rajin mendatangi pondok pesantren, minta restu kiyai/pemuka agama, dan Majelis Ta'lim. Biasanya rada pelit tiba-tiba rajin menyumbangi masjid atau panti asuhan. Tingkah seperti ini dilakukan juga oleh  calon non muslim.