waduk Lambo karena disana jauh dari pemukiman warga, memiliki topografi yang tidak jauh berbeda dengan Lowo Se dengan luas area yang hampir sama dengan Lowo Se, disana tidak ada tempat ritual atau perkuburan Leluhur, hanya sedikit area perkebunan warga sehingga tidak terlalu berdampak pada mata pencahrian warga sebagai petani.
Sesungguhnya Malawaka merupakan lokasi alternatif yang tepat untuk pembangunanDemikian juga akses ke Malawaka pun tidak sulit dan hemat biaya dengan jarak kurang lebih satu kilo meter sudah bisa mencapai titik nol Malawaka.
Merasa prihatin dengan situasi akhir – akhir ini yang terjadi di kampung halaman, tanah air tempat ia dilahirkan, Herman Yoseph Junago, salah seorang warga Rendu Butowe yang saat ini tinggal dan berdomisili di Malang, Jawa Timur menyurati Presiden Jokowi untuk bisa mendengarkan jeritan masyarakat kecil yang selama ini diintimidasi dan dikriminalisasi sebagai akibat dari pembangunan waduk Lambo yang berlokasi di Lowo Se. Pembangunan waduk yang diindikasi sebagai Pembangunan Strategis Nasional (PSN).
Inilah isi surat tersebut:
“Suara Kaum Yang Tidak Didengar Suaranya”
Kepada
Yang Terhormat Bapak Presiden Joko Widodo
Salam Damai Sejahtera Untuk Bapak
Terkait rencana pembangunan waduk Lambo/Mbay di Nagekeo NTT yang berlokasi di Lowo Se, Desa Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Provinsi NTT, Jokowi perlu mendengar jeritan warga terdampak.
Masyarakat Adat Rendu, Lambo dan Ndora yang pemukimannya berpotensi terkena dampak pembangunan waduk Lambo/Mbay, mereka sama sekali tidak anti pembangunan apalagi pembangunan itu untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri dan juga untuk masyarakat Nagekeo pada umumnya.
Masyarakat Adat ketiga komunitas, pemilik tanah ulayat tersebut hanya minta agar lokasi di Lowo Se untuk rencana pembangunan waduk Lambo/Mbay dipindahkan ke lokasi alternatif yang telah berkali – kali mereka tawarkan. Karena bila lokasinya tetap di Lowo Se seperti yang dipilih dan diusulkan oleh Pemerintah Daerah Nagekeo kepada Presiden sebagai Proyek Strategis Nasional Pembangunan waduk Lambo/Mbay itu telah berkali – kali pula Masyarakat Adat Rendu, Lambo dan Ndora dengan tegas menolaknya karena berpotensi menenggelamkan pemukiman warga, perkebunan, padang ternak, kegiatan adat/ritual adat masyarakat setempat, sekolah, gereja/rumah ibadah. Dan yang tidak kalah penting adalah dari lahan perkebunan dan padang ternak inilah mereka bisa membiayai anak – anak mereka untuk boleh mengenyam pendidikan yang lebih tinggi di kota – kota besar di negeri ini.
Masyarakat terdampak Rendu, Lambo dan Ndora menolak lokasi di Lowo Se namun mereka telah menyiapkan dan menawarkan dua lokasi alternatif yakni Lowo Phebhu dan Malawaka.
Mengapa Lowo Phebhu atau Malawaka, karena di dua lokasi tersebut selain jauh dari pemukiman penduduk yang tentunya tidak akan mengganggu ketentraman masyarakat dan juga pilihan Lowo Phebhu atau Malawaka adalah sangat bijaksana karena di Lowo Phebhu atau Malawaka dapat menampung air lebih cepat dengan debit air yang banyak pula. Disamping itu juga di Lowo Phebuh dan Malawalaka, dapat menampung aliran air dari berbagai anak sungai dari berbagai daerah di Nagekeo sehingga waduk Lambo/Mbay yang digadang – gadang sebagai bendungan hulu untuk memenuhi atau memperbesar ketersediaan air untuk bendungan Sutami di Mbay sungguh akan terwujud menjadi kenyataan.
Sekedar informasi, lokasi alternatif Malawaka memiliki topografi yang tidak jauh berbeda dengan Lowo Se yang memiliki area yang luas dan sangat bangus untuk area genangannya, disana tidak ada perkampungan dan jauh dari pemukiman warga, di Malawaka hanya sedikit area perkebunan warga sehingga tidak terlalu berdampak pada mata pencahrian warga sebagai petani.
Untuk akses ke Malawaka pun akan lebih mudah dan hemat biaya, karena menuju ke Malawaka, pihak kontraktor tinggal membuka jalan baru dari Peja Peo ( antara Jawakisa menuju Wololuba ), menyusuri belakang kampung Wololuba dan belok ke timur dengan jarak kurang lebih satu kilo meter sudah bisa mencapai titik nol Malawaka.
Bapak Presiden Yang Terhormat,
Dengan tawaran lokasi alternatif ini, Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo, meminta agar bapak Presiden dapat memerintahkan untuk penghentian segala aktivitas survey oleh BWS yang dikawal aparat Brimob dan juga penghentian proses pembangunan waduk di lokasi Lowo Se untuk selanjutnya dipindahkan di kedua lokasi alternatif tersebut.
Masyarakat juga meminta kepada bapak Presiden untuk memerintahkan agar aparat Kepolisian Resort Nagekeo tidak lagi melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang beberapa minggu terakhir ini ( September – Oktober 2021 ) dipanggil ke Mapolres Nagekeo untuk mengklarifikasi atas tindakan warga yang menghadang tim survey dari perusahaan pemenang tender pembangunan waduk Lambo/Mbay juga penghadangan terhadap aparat Brimob NTT yang mengkawal tim pengukur lahan warga. Mama – mama yang melakukan penghadangan dalam perjuangan untuk mempertahankan tanah ulayatnya diborgol tanpa alasan yang jelas oleh aparat Brimob. Mereka melakukan tindakan semena – mena terhadap masyarakat sipil dengan mengatasnamakan Pembangunan Strategis Nasional. Mereka tidak mendengarkan teriakan mama – mama yang melarang mereka untuk masuk ke lokasi tanah milik masyarakat. Mereka seenaknya menyerobot masuk ke lahan milik Masyarakat Adat untuk melakukan aktivitas pengukuran padahal mereka tidak diizinkan masuk.
Kami Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo sangat dirugikan atas tindakan mereka ini. Tindakan aparat kepolisian yang datang ke lokasi hanya membuat kegaduhan di tengah kententraman warga dalam melaksanakan aktivitas hariannya. Apakah tindakan seperti ini dibenarkan? Dimanakah keadilan bagi masyarakat kecil yang tidak berdaya?.
Bapak Presiden Yang Kami Banggakan
Pembangunan waduk Lambo/Mbay sesungguhnya telah direncanakan sejak 20 tahun yang lalu di masa kepemimpinan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI kala itu namun sejak itu Masyarakat Adat ketiga komunitas itu tidak mengizinkan atau menolak untuk dibangunkan waduk. Mengetahui ada penolakan warga pemilik tanah ulayat, Ibu Megawati pun memutuskan untuk tidak melanjutkan pembangunannya dengan menghentikan semua proses yang telah direncanakan. Ibu Megawati saat itu dengan legowo mendengar suara rakyatnya. Namun sangat berbeda dengan rencana pembangunan yang dilakukan saat ini. Semua proses tidak berjalan dengan baik dan dilakukan dengan paksaan, intimidasi dan arogan.
Masyarakat terkena dampak pembangunan waduk ini menjadi bertanya – tanya; apakah ada kepentingan lain sehingga para pemangku kepentingan tetap ngotot membangun waduk di lokasi yang telah berkali – kali ditolak warga? Mengapa Lowo Se harus menjadi titik sentral lokasi pembangunan waduk Lambo/Mbay padahal Masyarakat Adat telah menyiapkan lokasi alternatif di Lowo Phebhu atau Malawaka? Apakah sudah pernah dilakukan survey, kajian AMDAL dan teknik lainnya untuk kedua lokasi tersebut?
Hingga saat ini Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo yang terkena dampak pembangunan waduk ini masih ingat betul pernyataan Mentri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saat perwakilan Masyarakat Adat ke Jakarta menemuinya pada Agustus 2017 untuk menyampaikan aspirasi penolakan pembangunan waduk tersebut. Saat itu bapak Mentri PUPR pun menyampaikan kepada perwakilan Masyarakat Adat, bahwa jangankan seratus orang yang menolak, satu orang saja warga yang masih menolak, pembangunan waduk itu tidak akan dilakukan. Namun kenyataan yang terjadi sangat berbeda saat ini, sebagian warga terkena dampak masih menolak tetapi BWS dan timnya yang dikawal aparat Brimob tetap nekad memaksakan diri untuk melakukan aktivitas survey dan pengukuran tanah milik Masyarakat Adat. Jujur kami sebagai pemilik tanah ulayat ini sangat kecewa dengan tindakan dan perbuatan BWS ini.
Sebagai masyarakat kecil, kami sesungguhnya menginginkan pembangunan yang mengutamakan kedamaian dan ketentraman jiwa raga kami sehingga kami boleh hidup bebas tanpa dibayang – bayangi ketakutan atau apa pun di atas tanah tumpah darah kami dan tidak terganggu aktivitas harian sebagai petani maupun peternak. Apalagi saat ini musim hujan sudah mulai turun dan para petani desa sedang mempersiapkan lahan mereka untuk menanam.
Masyarakat Adat tidak meminta lebih, mereka hanya minta dihormati dan dihargai hak – haknya sebagai pemilik tanah ulayat di wilayahnya ini.
Bapak Jokowi, entah sudah berapa kali Surat Terbuka yang dikirimkan Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo kepada Bapak melalui media maupun media sosial bahkan mereka pernah mengantar sendiri suratnya ke istana negara di kediaman resmi Bapak dan saat itu mereka hanya diterima oleh staf khusus Presiden. Mereka hendak bertemu Bapak namun saat itu Bapak sedang sibuk atau padat acaranya sehingga mereka hanya menitipkan surat di staf Bapak. Hingga saat ini, mereka juga tidak tahu apakah surat tersebut telah dibaca Bapak atau belum. Dan kami berharap surat kali ini diterima dan dibaca Bapak sebagai masukan dan pertimbangan Bapak.
Atas perhatian Bapak kami ucapkan terima kasih.
Yosep Junago, warga Rendu Butowe yang saat ini menetap di Malang, Jawa Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H