Masyarakat terdampak Rendu, Lambo dan Ndora menolak lokasi di Lowo Se namun mereka telah menyiapkan dan menawarkan dua lokasi alternatif yakni Lowo Phebhu dan Malawaka.
Mengapa Lowo Phebhu atau Malawaka, karena di dua lokasi tersebut selain jauh dari pemukiman penduduk yang tentunya tidak akan mengganggu ketentraman masyarakat dan juga pilihan Lowo Phebhu atau Malawaka adalah sangat bijaksana karena di Lowo Phebhu atau Malawaka dapat menampung air lebih cepat dengan debit air yang banyak pula. Disamping itu juga di Lowo Phebuh dan Malawalaka, dapat menampung aliran air dari berbagai anak sungai dari berbagai daerah di Nagekeo sehingga waduk Lambo/Mbay yang digadang – gadang sebagai bendungan hulu untuk memenuhi atau memperbesar ketersediaan air untuk bendungan Sutami di Mbay sungguh akan terwujud menjadi kenyataan.
Sekedar informasi, lokasi alternatif Malawaka memiliki topografi yang tidak jauh berbeda dengan Lowo Se yang memiliki area yang luas dan sangat bangus untuk area genangannya, disana tidak ada perkampungan dan jauh dari pemukiman warga, di Malawaka hanya sedikit area perkebunan warga sehingga tidak terlalu berdampak pada mata pencahrian warga sebagai petani.
Untuk akses ke Malawaka pun akan lebih mudah dan hemat biaya, karena menuju ke Malawaka, pihak kontraktor tinggal membuka jalan baru dari Peja Peo ( antara Jawakisa menuju Wololuba ), menyusuri belakang kampung Wololuba dan belok ke timur dengan jarak kurang lebih satu kilo meter sudah bisa mencapai titik nol Malawaka.
Bapak Presiden Yang Terhormat,
Dengan tawaran lokasi alternatif ini, Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo, meminta agar bapak Presiden dapat memerintahkan untuk penghentian segala aktivitas survey oleh BWS yang dikawal aparat Brimob dan juga penghentian proses pembangunan waduk di lokasi Lowo Se untuk selanjutnya dipindahkan di kedua lokasi alternatif tersebut.
Masyarakat juga meminta kepada bapak Presiden untuk memerintahkan agar aparat Kepolisian Resort Nagekeo tidak lagi melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang beberapa minggu terakhir ini ( September – Oktober 2021 ) dipanggil ke Mapolres Nagekeo untuk mengklarifikasi atas tindakan warga yang menghadang tim survey dari perusahaan pemenang tender pembangunan waduk Lambo/Mbay juga penghadangan terhadap aparat Brimob NTT yang mengkawal tim pengukur lahan warga. Mama – mama yang melakukan penghadangan dalam perjuangan untuk mempertahankan tanah ulayatnya diborgol tanpa alasan yang jelas  oleh aparat Brimob. Mereka melakukan tindakan semena – mena terhadap masyarakat sipil dengan mengatasnamakan Pembangunan Strategis Nasional. Mereka tidak mendengarkan teriakan mama – mama yang melarang mereka untuk masuk ke lokasi tanah milik masyarakat. Mereka seenaknya menyerobot masuk ke lahan milik Masyarakat Adat untuk melakukan aktivitas pengukuran padahal mereka tidak diizinkan masuk.Â
Kami Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo sangat dirugikan atas tindakan mereka ini. Tindakan aparat kepolisian yang datang ke lokasi hanya membuat kegaduhan di tengah kententraman warga dalam melaksanakan aktivitas hariannya. Apakah tindakan  seperti ini dibenarkan? Dimanakah keadilan bagi masyarakat kecil yang tidak berdaya?.
Bapak Presiden Yang Kami Banggakan
Pembangunan waduk Lambo/Mbay sesungguhnya telah direncanakan sejak 20 tahun yang lalu di masa kepemimpinan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI kala itu namun sejak itu Masyarakat Adat ketiga komunitas itu tidak mengizinkan atau menolak untuk dibangunkan waduk. Mengetahui ada penolakan warga pemilik tanah ulayat, Ibu Megawati pun memutuskan untuk tidak melanjutkan pembangunannya dengan menghentikan semua proses yang telah direncanakan. Ibu Megawati saat itu dengan legowo mendengar suara rakyatnya. Namun sangat berbeda dengan rencana pembangunan yang dilakukan saat ini. Semua proses tidak berjalan dengan baik dan dilakukan dengan paksaan, intimidasi dan arogan. Â Â
Masyarakat terkena dampak pembangunan waduk ini menjadi bertanya – tanya; apakah ada kepentingan lain sehingga para pemangku kepentingan tetap ngotot membangun waduk di lokasi yang telah berkali – kali ditolak warga? Mengapa Lowo Se harus menjadi titik sentral lokasi pembangunan waduk Lambo/Mbay padahal Masyarakat Adat telah menyiapkan lokasi alternatif di Lowo Phebhu atau Malawaka?  Apakah sudah pernah dilakukan survey, kajian AMDAL dan teknik lainnya untuk kedua lokasi tersebut?