Muka politikmu hipokrit, penuh intrik membungkam kritik,Â
kau lirik sana-sini sampai matamu perih, tak peduli pada yang lirih.Â
Pagimu tanpa ragu membangun patuh orang-orang keluh.Â
Sarapanmu dihidang tanpa malu, dari orang-orang penakut.Â
Nasi goreng, dari garingnya telur busuk yang kau semat dari mencuri semalam.Â
Kau gagah dari segala arah, dari tatapan orang-orang kalah. Kalah segalanya.
Bekalmu tidak sempurna, sebelum menguras usaha orang-orang lemah.
Suaramu kau tata, dari mulut-mulut terbata. Latah tanpa arah.
menggelegar seenaknya, membahana menyebar bak walang sangit.
Sangkamu wangi. Eh. Membau menguliti yang mencium parfumu di jalanan.
Di lorong, kau senonoh. Disangka penolong, tahunya pe-nyolong.Â
Bergegas kau segera. Menyelinap, takut ketahuan. Ketahuan sesama komplotanmu.
Lalu, mau kemana?Â
Berlindung di bawah beringinkah, menjadi bantengkah, atau merubah wujuh dengan topi ka'bah di kepalamu?
Lalu kau tanam bintang mercy di pundakmu. Biar berwibawa. Lalu berpura-pura tunduk saat melewati kerumunan pesta. Pesta rakyat katamu. Hahaha.Â
Hei! Kau politikus. Menolehlah!
Waktunya beristirahat. Resting from your playing.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H