Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Metafisika Kehadiran

28 September 2022   11:43 Diperbarui: 28 September 2022   11:56 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
metafisika kehadiran | pixabay.com/Artie_Navarre

Dalam teori barat ada istilah metafisika kehadiran, gagasan terhadap sesuatu akan menghasilkan realitas sesuatu yang sama. Manusia selama ini menganut logosentrisme yaitu pembenaran pemikiran rasional terhadap diri sendiri.

Orang terjebak pada kebenaran sendiri, sehingga akan menyalahkan manusia lain yang tidak sesuai dengan kebenaran menurutnya. Semua orang mempunyai logos masing-masing yang bisa menolak dan menerima teks. Sehingga nalar atau logika manusia akan mengolah untuk diambil kesimpulan yang dianggapnya benar.

Selama ini manusia terjebak pada pemikiran biner. Mereka melihat semua hal menjadi dua. Tentang baik dan buruk, pintar dan bodoh, kuat dan lemah, indah dan jelek, atau putih dan hitam. 

Pemikiran ini akan menimbulkan hirarki dan sub-ordinasi. Hal ini akan membuat manusia cenderung berasumsi tentang sesuatu menjadi dua, mereka menolak hal lain selain itu. Dan ini merupakan sumber kekacauan pemikiran manusia.

Zaman modern saat ini manusia menganut sistem fonosentrisme. Bagi beberapa pemikir filosof mengatakan bahwa tulisan begitu penting untuk kehidupan. Sehingga perkataan ditimbulkan dari tulisan yang ditafsirkan bebas oleh manusia.

Tulisan merupakan sesuatu yang sangat otentik, sedangkan ucapan adalah teks yang sudah "diperkosa" oleh orang yang mengucapkan. Tulisan merupakan simbol dari semua simbol. Sedangkan tulisan yang diucapkan sesuai tafsir manusia akan menjadi sistem logosentrime. Teks yang tertulis akan mempunyai makna yang berbeda-beda.

Sehingga manusia seharusnya mampu menerima jaringan makna tersebut untuk mencari hakikat atau esensi kebenaran bagi dirinya sendiri, tergantung ke arah mana menariknya.

Dalam pemahaman teks akan berbeda berdasarkan jejak manusia yang membaca itu sendiri. Jejak tersebut yang akan menimbulkan persepsi sesuai dirinya. Hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa tidak ada keputusan yang final karena jejak yang direkam manusia berbeda-beda. Sesuatu yang manusia persepsikan tidak semuanya akan disetujui oleh manusia lain.

Manusia terlalu menurut, memberhalakan, menyembah pada pemikirannnya sendiri. Tidak ada sesuatu yang objektif di dunia. 

Karena parameter membenarkan dan mengobjektifkan sesuatu tentu berbeda satu sama lain sesuai jejak teks manusia. Sehingga gagasan manusia harus terus-menerus didekonstruksi agar tidak ketinggalan makna yang lain.

Semenjak adanya hak kebebasan berprasangka, ditambah dengan kemajuan zaman yang kian menembus batas realitas, manusia cenderung enggan mengabdi kepada informasi. Fakta menjadi landasan kesekian untuk dijadikan kebutuhan. Ketika objektivitas diperkosa oleh subjektivitas yang samar, kacau balau hubungan di antara mereka.

Bahkan subjektivitas mampu mengalahkan hubungan percintaan, teman, keluarga, bahkan kepada Tuhannya sendiri. Mereka akan membenarkan opininya. Kebenaran yang mutlak melebihi kemutlakan Tuhan.

Menurut Jacob Sumardjo (2000), kebenaran bukan sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia, manusia yang memiliki tanggungjawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan kebenaran. Kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang diketemukannya.

Dalam beberapa bukunya, Nitzsche, menyatakan bahwa kebutuhan untuk percaya memanifestasikan dirinya dalam kehendak untuk kebenaran. Sekarang kehendak kebenaran berada di luar benar atau salah. Kehendak kebenaran akan menjadi pedoman atau pegangan hidup seseorang.

Semakin disalahkan mereka akan semakin meyakini kebenaran, dia akan mencari sesuatu untuk balik menyalahkan orang lain bahkan menyalahkan seluruh dunia. Seharusnya kita sudah mulai mengintrospeksi diri sendiri, mengapa kita tidak mau salah?!

Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Dewasa ini kebanyakan orang lebih suka mencari kesalahan orang lain daripada kesalahan sendiri.

Seharusnya manusia menempatkan diri pada dua hal; pertama, mencari kesalahan diri untuk dievaluasi dan bisa diperbaiki. Kedua, tidak mencari-cari kesalahan orang yang dianggapnya salah, tapi justru mencari kelebihan dan kebenarannya.

Baiknya, manusia tidak lagi menulis kesalahan orang lain ketika mereka sendiri lupa menghapus penyesalan atas kesalahan di masa lalunya. Melihat manusia lain baik dan merasa bahwa kita buruk. Sehingga yang dicari bukan kesalahan, juga bukan mengaku benar karena hidup adalah abu-abu.

Mencari kesalahan seseorang memang sangat mudah, bertolak belakang jika menilai kebaikan seseorang. Menyimpulkan kebencian tanpa usaha mencari sebab. Manusia terjerembab. Kehidupan bukan hanya tentang kita dan orang kedua. Masih ada tokoh ketiga, tokoh figuran, bahkan sutradara.

Hidup ada untuk penampakan, kesalahan, jebakan, penyamaran, dan pembutaan diri. Prinsip destruktif yang memusuhi hidup. Kehendak kebenaran secara diam-diam adalah kehendak kematian. Jika ketidakbenaran dihapuskan untuk memfanatikan kebenaran, maka mereka akan memotong bagian kehidupan. Jangan menangkap sebuah berita berdasarkan fakta yang abu-abu.

Pembuat cerita harus benar-benar memahami landasan sumber yang sah. Tidak boleh dipotong fakta narasumber untuk kepentingannya, juga penafsiran yang hitam-putih. 

Misalkan seseorang diberi tahu tentang peristiwa pembunuhan yang tidak ada pemotongan kelamin dan pencukilan mata dari hasil visum, bukan berarti bebas menyimpulkan bahwa tersangka melakukan pembunuhan tidak dengan kekerasan. Dalam mencari kebenaran melalui sejarah tidak diperkenakan menggunakan sistem pengandaian. Harus jelas!

Memandang sesuatu dari satu sudut pandang yang sangat sempit membuat manusia menjadi kehilangan martabatnya. Sering mendakwa sesamanya, memfitnah kaumnya, dan mendustai kodratnya. Mengarang cerita fiktif dan memburamkan fakta untuk pengakuan baik di hadapan yang lain.

"Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain, mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya, bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. 

Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi, setiap kata bisa diganti artinya, setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kata Alina. Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta" (Seno Gumirah Ajidarma, Sepotong Senja Untuk Pacarku)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun