Apa boleh buat, demi menagih Drupada yang pernah menjanjikan kedudukan elit di Panchala, Drona menyanggupi T&C abnormal itu. Apakah Drona pengidap bestiality atau gimana kejadiannya, biarlah itu tetap jadi desas desus. Yang mau kuceritakan kan soal kedatangan Aswatama ke Banjarjunut, ya to?
Oke, lanjut.
"Den Bagus Dur, saya sowan mruput begini menemui Gus Dur (Aswatama gaya bicaranya emang gitu, Raden Bagus Dursasana seenaknya aja disingkat Gus Dur) karena tugas resmi. Ini surat tugasnya. Ini yang menerbitkan Kepatihan lho, lha ini.., lihat ini Gus, ini tandatangannya Mahapatih. Clear to? Cetha wela-wela, ndak ada rekayasa" kata Aswatama sambil memamerkan selembar lontar bercap Ploso Jenar.
Dursasana hanya melirik. Dia tau sedang ketanggor intrik politik. Dan bila yang jadi antagonis adalah Aswatama, bisa dipastikan ini urusan bau tengik. Jijik!
"Ndak sah tele temele, to the intine wae. Apa tugasmu?" jengek shohobul bait, lalu menguak (bukan menguap lho ya, catat!) mulut lebar-lebar.
Aswatama mengeluarkan lontar ke dua, "Oh, ini.., ini ada Kepmap (Keputusan Mahapatih) soal tour of duty personil militer kerajaan. Namanya.., ehm.., bentar.., duh, boleh pinjam kacamata, Gus?"
"Ndak ada!" sergah Dursasana mangkel.
Aswatama tersenyum menang. Meski yang dihadapi adalah komandan sendiri, soal nyali dan taji, Aswatama tak sudi kalah gengsi. "Nah, ini dia, nama: Pra.., Pras.., so, Joe. Ya, Prasodjoe. Maaf, mata plus. Pangkat:.., bentar.., mana ya? Nah, ini dia..."
"Sinih!" Dursasana merebut lontar itu dari tangan Aswatama. Garis batas sabarnya sudah mencapai ubun-ubun.
Mutasi. Benar, itu surat mutasi untukku. Dursasana menggeram, geligi beradu berkerokotan, lalu tiga perempat histeris dia berteriak memanggilku, "JOE!!"
suluk #1, pocung (diterjemah, guru lagu dan guru gatra tetap)