Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Racun Jingga

17 April 2023   19:02 Diperbarui: 17 April 2023   19:05 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pabrik Imo Sake modern di Tokyo (sumber: savoredjourneys.com)

Sebelum benar berpisah, kami sepakat bertemu. Tak banyak kata terucap dalam episode yang lebih terasa sebagai pelampiasan dendam daripada pemupus rindu itu. Sesudahnya, kami berziarah ke jalan-jalan, menatap prasasti berbentuk puing dan sisa-sisa bangunan terbakar di mana kami menulis sejarah sendiri. Mengenang sejenak masa-masa yang mungkin akan tinggal sebagai catatan yang diakhiri dengan titik tiga. Tak jelas ujung akhirnya. Lalu ia berpaling, melangkah pergi, tanpa berkata-kata.

***

2006, Jogja dilanda gempa. Kala itu, aku sudah mengundurkan diri dari tempat kerja, asyik berkhidmat di dunia volunteer. Aku bergabung dengan sebuah LSM, tepatnya OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) Posko Jenggala yang menjadi wahana kepedulian sosial boss Medco Group, (Allahyarham) Arifin Panigoro, as person.

Sayangnya, terjadi beda pendapat antara aku yang kebetulan tengah ditugasi memantau kondisi Merapi yang sedang diradang erupsi ketika bencana datang dari arah berlawanan, dengan korlap Posko Jenggala yang memimpin sepasukan besar relawan terjun ke Jogja. Lengkap dengan logistik dan bermacam sumber daya. Tak ada titik temu di tengah situasi serba terburu. Aku lantas memutuskan mendirikan posko bantuan sendiri.

Tak mudah. Tak ada modal. Tak ada kawan. Yang ada hanya pengalaman panjang dan serangkai jaringan pertemanan berikut simpul-simpul yang terbuhul selama aku jadi wartawan. Hanya itu. Aku merasa seperti Bandung Bondowoso, seorang diri dituntut membangun seribu candi.

Bismillah. Aku lantas berusaha menggalang kerjasama dengan berbagai LSM dan jejaring sosial yang terbangun sejak aku mendedikasikan diri sebagai relawan. Itu dimulai ketika aku ditugasi meliput bencana tsunami di Aceh.

Sepulang dari sana, hatiku mendua. Tak adil rasanya hadir di medan bencana hanya untuk mengcover berita walau mungkin itu ada juga manfaatnya. Aku teringat pada nara sumber-nara sumberku, relawan-relawan sejati dari berbagai tempat, berbagai negara, yang datang ke Aceh untuk membantu sesama. At all cost. Memang yang begitu tak banyak, tapi inspirasi yang mereka ledakkan begitu dahsyat.

Maka, ketika Posko Jenggala membuka pintu saat tanah longsor terjadi di Banjar Negara, 2005,  kutandatangani surat pengunduran diri dari tempat kerja. Demikian awal mulanya.

Thanks God, tak sedikit batang terendam yang berhasil kubangkitkan ke permukaan. Posko di desa Sindet, Wukirsari, Imogiri, Jogja itu bisa bertahan hampir empat bulan dengan sumbangsih bagi sesama korban bencana yang kiranya tak perlu kusebutkan. Memang bukan seribu candi, tapi semoga jejak-jejak itu abadi.

Di sela gerak begitu cepat sehingga noktah-noktah penanda waktu terasa kurang, begitu pula tenaga dan sumber daya, seorang aktivis gaek di Jakarta memberi nomor kontak sebuah LSM Jogja yang kata dia pasti bersedia  membantu posko yang kudirikan.

Mulanya aku agak malas menghubungi LSM itu. Sudah enam bulan aku di Joga dengan setumpuk agenda yang sangat menyita waktu dan tenaga. Sementara, rumahku sendiri, rumah kenangan di pinggir kali itu, masih terbelasah tak tertangani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun