Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekali Lagi: Revolusi

7 Maret 2022   13:14 Diperbarui: 7 Maret 2022   16:15 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurikulum Merdeka yang hendak diterapkan di bawah Mentri Nadiem Makarim sekilas menjanjikan karena mulai bercorak pedagogi humanistik. Mulai menyentuh akar masalah. 

Tapi mohon diingat nasihat Gus Mus: rezim Orba telah menjadikan manusia Indonesia bangsa materialistik, sibuk mengejar kekayaan dengan segala cara (utang dan maling, vulgarnya begitu)  dan karakteristik itu sulit dirombak bahkan setelah seperempat abad reformasi. Kataku, dulu Tuhan tinggal di gunung dan langit, lalu pindah ke sinagoga, gereja, dan mushola. Tapi sekarang, Tuhan rupanya sudah pindah ke pasar. 

Bagaimana halnya dengan rezim pedagogi behaviouristik eksploitatif yang sudah berurat sejak abad 18! Reformasi tidak akan cukup daya untuk membongkarnya. Perbaikan kecil-kecilan dan hanya mententuh permukaan akan digilas laju peradaban. 

Bukankah kita luput dari mulut kolonialisme fisik lalu kecebur ke mulut kolonialusme teknologi dan informasi? Kita lolos dari Jan Pieter dan Daendels tapi dicengkram Mark Zuckerberg dan Bill Gate.  

Maka, proklamasi harus diperbarui. Bangunan tua yang jumud dan mematikan itu butuh tenaga ekstra untuk membongkarnya. Kita butuh REVOLUSI PENDIDIKAN NASIONAL. Kita butuh meninggalkan sejenak zona nyaman, keasyikan yang kita ciptakan karena penderitaan itu sekian lama tak jua berlalu. Kita butuh berkorban. 

Pean yang suka berkiblat ke Barat tentu menertawai argumen ini.  Amerika Serikat masih menerapkan pedagogi behaviouristik sampai saat ini dan terbukti menjadikan mereka nomor satu di dunia. 

Oh ya? Jadi pean mau terus mencoba membentuk tim sepakbola kelas dunia dengan SDM yang ada?  Helmy Yahya bilang, kita tak mungkin menang lawan tim Eropa, mereka bisa lari dari ujung lapangan ke ujung lainnya dengan tenaga 10 kali lebih sedikit dari yang kita butuhkan. Kaki mereka panjang, kita pendek. 

Kenapa kita tidak menggenjot saja olahraga individual?  Kita lincah dan bandel, walau egois. Kenapa kita ikut-ikutan bikin pesawat terbang bukannya mengembangkan seni seperti Korea Selatan?

Kenapa kita impor gandum tapi tak pernah ekspor keladi?  Karena lebih banyak pabrik mi daripada penjaja jagung rebus.  Karena dalam catatan sejarah, hanya Soekarno yang berani menempuh revolusi, dengan segala konsekuensinya!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun