Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekali Lagi: Revolusi

7 Maret 2022   13:14 Diperbarui: 7 Maret 2022   16:15 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam berbagai kesempatan, KH Mustofa Bisri menyatakan, selama 30 tahun lebih manusia Indonesia dicekoki pendidikan dengan tujuan tunggal yakni kepentingan ekonomi.  Hal ini menyebabkan manusia Indonesia sulit terbebas dari belenggu materialistik karena doktrin dan contoh yang dipamerkan Soeharto dan kroninya berlangsung sangat intensif dan dalam waktu lama. 

Hampir 25 tahun manusia Indonesia mencoba mereformasi diri setelah Soeharto tumbang. Namun hasilnya memprihatinkan karena yang dianggap biang penyakit adalah KKN. Korupsi, dan terutama kolusi dan nepotisme menimbulkan kecemburuan sosial. Ada yang makan banyak, ada yang cuma dapat sisa. 

Akar persoalan, yakni pendidikan,  tidak tersentuh reformasi. Kalaupun kemudian ada kesadaran dan perhatian dengan mengalokasikan 20% APBN untuk sektor pendidikan, tanpa membongkar total rezim pendidikan behaviouristik tinggalan jaman kolonial, hasilnya terbukti tidak signifikan.  

Ketika Joko Widodo mengusung jargon Revolusi Mental saat dipaksa maju sebagai Presiden (2014), manusia Indonesia kesulitan mengeksekusi jargon ideal itu karena tidak tahu dari mana harus memulai. Upaya menciptakan good and clean governance dan profesionalitas birokrasi memang kelihatannya paling urgent.  Tapi korupsi, inefisiensi dan karakter-karakter negatif yang andai Mochtar Lubis masih hidup akan membuat buku tipisnya menebal seperti ensiklopedia, tidak kunjung teratasi. Contoh,  bahkan sekadar upaya menyederhanakan peraturan (omnibus law) pun tidak mudah dilakukan.  

Mahfud MD pernah "memarahi" seorang mahasiswa yang berpendapat peradaban manusia Indonesia mengalami degradasi. Tapi Menkopolhukam juga mengakui, bahkan dengan detil memaparkan kemerosotan peradaban kita dalam hal korupsi dibanding masa-masa sebelumnya. 

Benar, pendidikan manusia Indonesia telah menghasilkan kesetaraan hak pendidikan untuk setiap warga negara, mencetak jutaan sarjana hingga profesor. Itu fakta yang ditunjukkan Mahfud untuk mematahkan argumen si mahasiswa yang tak punya kesempatan menjawab.

Tapi kemajuan itu sekadar output yang kontradiktif ketika dibenturkan dengan menggilanya korupsi. "Dulu, yang korupsi cuma eksekutif dan terpusat, sekarang seluruh lembaga negara terjangkit korupsi dan menyebar lebih parah di daerah-daerah," demikian lebih kurang Mahfud MD. 

Bayangkan, banyak terungkap polisi menanangkapi aparat kampung (RT, RW) dalam korupsi bantuan sosial di awal pandemi covid 19. Kalau kemudian KPK juga mencokok Mensosnya, publik tidak terlalu shock. 

Kok bisa? Lagi-lagi karena di dunia pendidikan, kita tidak pernah mengevaluasi metodologi. 

Agar artikel ini singkat karena sekadar konten blog, bukan jurnal, kesimpulannya revolusi mental harus dimulai di sektor pendidikan.  Jepang yang hancur lebur saat PD II, mampu segera bangkit dan menjelma kekuatan adidaya karena tahu benar akar masalah dan cara mengatasinya.  Beranikah manusia Indonesia berguru pada bangsa-bangsa oriental (Jepang, China, Korea Selatan)? 

Atau mungkin kita malah menertawai John Taylor Gatto yang di bukunya Dumbing Us Down secara agak konspiratif phobia mengungkap kurikulum tersembunyi di dunia sekolah? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun