Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekali Lagi: Revolusi

7 Maret 2022   13:14 Diperbarui: 7 Maret 2022   16:15 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Dumbing Us Down, ilustrasi tangkapan kayar.  (dok. pri.) 

"Kita unggul di olahraga individual, di olahraga tim seperti sepakbola, modal dasar kita memang kurang," Taufik Hidayat, living legend  bulutangkis Indonesia bicara apa adanya.  Soal bangsa ini lebih suka "habis-habisan" di sepakbola, mungkin hanya soal syahwat. Kalimat ke dua kalam penulis. 

Dalam orasi  kebudayaan berjudul Manusia Indonesia yang disampaikan Mochtar Lubis (allahyarham) di TIM tahun 1977, disebutkan 6 karakter utama Manusia Indonesia.  Lima karakter (hipokrit, tidak bertanggungjawab, feodal, mistis, dan berkarakter lemah) merupakan otokritik pedas level dewa dan menimbulkan polemik di masanya.  Orasi budaya itu dibukukan pada 2001 dan menjadi salah satu buku koleksiku ketika SD. 

Untungnya Mochtar masih menyisakan satu karakter unggul yang menjadi modal kuat manusia Indonesia untuk bertahan dalam persaingan peradaban. Kita bangsa artistik, kata Mochtar. 

Pean boleh setuju, boleh tidak. Tapi dalam Slilit Sang Kiai (1991), kumpulan kolom MH Ainun Nadjib, ada satu esai yang begitu mengganggu pikiran. Esai berjudul Etnotalentologi itu bicara tentang potensi alias bakat etnis yang berbeda-beda sebagaimana Tuhan menghendaki pluralitas itu terbentuk agar masing-masing bangsa, bahkan tiap individu menjadi mahluk kompetitif (Qur'an, Surah Al Hujurat ayat 13).

Kompetisi untuk mengembangkan peradaban yang baik, dalam nalar MH membutuhkan tool yang disebut pendidikan yang harus didasari pemahaman karakterustik pribadi seseorang, etnis, atau bangsa masing-masing. 

Ucapan Taufik Hidayat di atas dan kondisi riil manusia bangsa Indonesia menjustifikasi tesis MH. Dalam dunia pendidikan, metoda pengembangan berbasis potensi dan karakteristik itu disebut pedagogi humanistik. Sebaliknya, pendidikan dengan basis tujuan yang telah ditetapkan disebut metoda behaviouristik. 

Dalam Tetralogi Buru, Pram mengungkap fakta sejarah bahwa sejak berkembangnya politik etik di Eropa dan kebangkrutan Netherland karena terlibat perang lawan Prancis di Eropa dan pemberontakan Diponegoro di Hindia Belanda, tool pendidikan (sekolahan) di Hindia Belanda yang kemudian didirikan sejak abad 18 menerapkan metoda behaviouristik. 

Tujuan pendidikan yang disasar penerintah kolonial untuk pribumi Hindia Belanda itu tak lain untuk menyediakan tenaga kerja terpelajar di level birokrasi kolonialis eselon rendah dan buruh terpelajar untuk menggerakkan industrialisasi di Hindia Belanda. Mereka mendidik pribumi karena gaji buruh dan pegawai negri pribumi rendah. 

Industrialisasi mau tidak mau diterapkan pemerintah Hindia Belanda karena sistem monopoli perdagangan saja tidak cukup untuk menutup kerugian akibat perang. Netherland tidak lagi punya cukup duit untuk menggaji SDM Londo yang jauh lebih mahal. Pean sekarang ngerti alasan didirikannya Sekolah tinggi pertama cikal bakal Universitas Indonesia. Stovia waktu itu dikenal sebagai Sekolah Dokter Jawa!

Pasca kemerdekaan, terutama di era rezim Orde Baru, pedagogi behaviouristik makin intens diterapkan atas nama stabilitas politik dan pembangunan yang tidak bisa dicapai di masa-masa sebelumnya. 

Dalam berbagai kesempatan, KH Mustofa Bisri menyatakan, selama 30 tahun lebih manusia Indonesia dicekoki pendidikan dengan tujuan tunggal yakni kepentingan ekonomi.  Hal ini menyebabkan manusia Indonesia sulit terbebas dari belenggu materialistik karena doktrin dan contoh yang dipamerkan Soeharto dan kroninya berlangsung sangat intensif dan dalam waktu lama. 

Hampir 25 tahun manusia Indonesia mencoba mereformasi diri setelah Soeharto tumbang. Namun hasilnya memprihatinkan karena yang dianggap biang penyakit adalah KKN. Korupsi, dan terutama kolusi dan nepotisme menimbulkan kecemburuan sosial. Ada yang makan banyak, ada yang cuma dapat sisa. 

Akar persoalan, yakni pendidikan,  tidak tersentuh reformasi. Kalaupun kemudian ada kesadaran dan perhatian dengan mengalokasikan 20% APBN untuk sektor pendidikan, tanpa membongkar total rezim pendidikan behaviouristik tinggalan jaman kolonial, hasilnya terbukti tidak signifikan.  

Ketika Joko Widodo mengusung jargon Revolusi Mental saat dipaksa maju sebagai Presiden (2014), manusia Indonesia kesulitan mengeksekusi jargon ideal itu karena tidak tahu dari mana harus memulai. Upaya menciptakan good and clean governance dan profesionalitas birokrasi memang kelihatannya paling urgent.  Tapi korupsi, inefisiensi dan karakter-karakter negatif yang andai Mochtar Lubis masih hidup akan membuat buku tipisnya menebal seperti ensiklopedia, tidak kunjung teratasi. Contoh,  bahkan sekadar upaya menyederhanakan peraturan (omnibus law) pun tidak mudah dilakukan.  

Mahfud MD pernah "memarahi" seorang mahasiswa yang berpendapat peradaban manusia Indonesia mengalami degradasi. Tapi Menkopolhukam juga mengakui, bahkan dengan detil memaparkan kemerosotan peradaban kita dalam hal korupsi dibanding masa-masa sebelumnya. 

Benar, pendidikan manusia Indonesia telah menghasilkan kesetaraan hak pendidikan untuk setiap warga negara, mencetak jutaan sarjana hingga profesor. Itu fakta yang ditunjukkan Mahfud untuk mematahkan argumen si mahasiswa yang tak punya kesempatan menjawab.

Tapi kemajuan itu sekadar output yang kontradiktif ketika dibenturkan dengan menggilanya korupsi. "Dulu, yang korupsi cuma eksekutif dan terpusat, sekarang seluruh lembaga negara terjangkit korupsi dan menyebar lebih parah di daerah-daerah," demikian lebih kurang Mahfud MD. 

Bayangkan, banyak terungkap polisi menanangkapi aparat kampung (RT, RW) dalam korupsi bantuan sosial di awal pandemi covid 19. Kalau kemudian KPK juga mencokok Mensosnya, publik tidak terlalu shock. 

Kok bisa? Lagi-lagi karena di dunia pendidikan, kita tidak pernah mengevaluasi metodologi. 

Agar artikel ini singkat karena sekadar konten blog, bukan jurnal, kesimpulannya revolusi mental harus dimulai di sektor pendidikan.  Jepang yang hancur lebur saat PD II, mampu segera bangkit dan menjelma kekuatan adidaya karena tahu benar akar masalah dan cara mengatasinya.  Beranikah manusia Indonesia berguru pada bangsa-bangsa oriental (Jepang, China, Korea Selatan)? 

Atau mungkin kita malah menertawai John Taylor Gatto yang di bukunya Dumbing Us Down secara agak konspiratif phobia mengungkap kurikulum tersembunyi di dunia sekolah? 

Kurikulum Merdeka yang hendak diterapkan di bawah Mentri Nadiem Makarim sekilas menjanjikan karena mulai bercorak pedagogi humanistik. Mulai menyentuh akar masalah. 

Tapi mohon diingat nasihat Gus Mus: rezim Orba telah menjadikan manusia Indonesia bangsa materialistik, sibuk mengejar kekayaan dengan segala cara (utang dan maling, vulgarnya begitu)  dan karakteristik itu sulit dirombak bahkan setelah seperempat abad reformasi. Kataku, dulu Tuhan tinggal di gunung dan langit, lalu pindah ke sinagoga, gereja, dan mushola. Tapi sekarang, Tuhan rupanya sudah pindah ke pasar. 

Bagaimana halnya dengan rezim pedagogi behaviouristik eksploitatif yang sudah berurat sejak abad 18! Reformasi tidak akan cukup daya untuk membongkarnya. Perbaikan kecil-kecilan dan hanya mententuh permukaan akan digilas laju peradaban. 

Bukankah kita luput dari mulut kolonialisme fisik lalu kecebur ke mulut kolonialusme teknologi dan informasi? Kita lolos dari Jan Pieter dan Daendels tapi dicengkram Mark Zuckerberg dan Bill Gate.  

Maka, proklamasi harus diperbarui. Bangunan tua yang jumud dan mematikan itu butuh tenaga ekstra untuk membongkarnya. Kita butuh REVOLUSI PENDIDIKAN NASIONAL. Kita butuh meninggalkan sejenak zona nyaman, keasyikan yang kita ciptakan karena penderitaan itu sekian lama tak jua berlalu. Kita butuh berkorban. 

Pean yang suka berkiblat ke Barat tentu menertawai argumen ini.  Amerika Serikat masih menerapkan pedagogi behaviouristik sampai saat ini dan terbukti menjadikan mereka nomor satu di dunia. 

Oh ya? Jadi pean mau terus mencoba membentuk tim sepakbola kelas dunia dengan SDM yang ada?  Helmy Yahya bilang, kita tak mungkin menang lawan tim Eropa, mereka bisa lari dari ujung lapangan ke ujung lainnya dengan tenaga 10 kali lebih sedikit dari yang kita butuhkan. Kaki mereka panjang, kita pendek. 

Kenapa kita tidak menggenjot saja olahraga individual?  Kita lincah dan bandel, walau egois. Kenapa kita ikut-ikutan bikin pesawat terbang bukannya mengembangkan seni seperti Korea Selatan?

Kenapa kita impor gandum tapi tak pernah ekspor keladi?  Karena lebih banyak pabrik mi daripada penjaja jagung rebus.  Karena dalam catatan sejarah, hanya Soekarno yang berani menempuh revolusi, dengan segala konsekuensinya!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun