Yaitu... merasakan benar-benar, dengan cermat, keluhan apa sebenarnya yang Anda rasakan. Lalu susunlah kalimat yang jelas untuk Anda utarakan kepada dokter. Ingat... diagnosa dokter juga akan ditentukan oleh penjelasan Anda tentang sakit Anda. Tak semua dokter menggemari tanya jawab. Dokter juga manusia. Ada yang pendiam, ada yang cerewet. Di sebuah rumah sakit di selatan Jakarta... saya mendapati seorang dokter yang sudah sangat tua dan nyaris tak pernah sepatahpun mengeluarkan omongan. Untungnya, obat resepnya jarang meleset.
Jika anda mengeluh sakit kepala... sakit kepala yang bagaimana? Pusing atau pening? Itu berbeda dengan sakit kepala berdenyut-denyut (cephalgia). Sakit di bagian tengkuk? Itu lain dengan sakit kepala sebelah ( migrain). Rasa penuh di kepala juga berbeda dengan rasa pusing berputar (vertigo), rasa kepala mau pecah, atau rasa seperti ada yang mencengkeram kepala. Belum lagi, yang disebut "rasa oyong-oyong" (dizziness), kepala rasanya seperti diayun-ayun. Sangat besar kemungkinan obatnya juga beda-beda.
Meski dokter punya rumus dan akan mendiagnosa tubuh Anda dengan alat, namun percayalah bahwa penjelasan benar Anda sangat diperlukan. Tak percaya? Cobalah manakala lambung Anda meradang, katakan kepada dokter bahwa tenggorokan Anda yang sakit. Dan tunggulah Anda akan diberi obat apa.
5. Cara sederhana berhenti merokok
Sebagaimana Anda, saya juga telah mencoba banyak cara agar bisa berhenti merokok. Ada yang cuma berhasil sebulan, setahun atau dua tahun. Namun ada satu cara yang membuat saya berhenti sampai sekarang.
Mengganti kebiasaan rokok dengan permen? Wuah, itu tidak efektif. Makan permennya malah jadi kebiasaan, merokoknya jalan terus. Menggunakan rokok elektrik? Dua kali saya mencoba, dari yang harganya murah juga yang mahal. Malah keduanya hilang entah ke mana. Meneruskan momentum "tidak enak bau rokok" ketika didera flu, dan meneruskannya ketika sudah sehat? Itu hanya sukses beberapa bulan.
Saya lupa, entah ide ini muncul dari mana. Saya suruh dua anak saya yang kala itu berumur enam dan sembilan tahun menulis dengan tangannya sendiri sebaris kalimat. Yang enam tahun kualitas tulisannya masih sangat "cakar ayam". Tak apa. Malah dramatis. Kalimat yang mereka tulis adalah: "Demi masa depan Ethos, demi masa depan Icha... berhentilah merokok, Bapak".
Kertas bertulis itu saya tempel di layar monitor komputer di kantor. Saya minta keduanya menulis selembar lagi... untuk komputer di rumah. Setiap hari, setiap saat, kalimat itu terbaca oleh saya. Bukan... bukan hanya terbaca. Tapi seakan kedua anak saya sendiri yang memohon-mohon hal itu kepada saya. Berhasilkah saya? Sukses sampai sekarang!
Â
Â
Â