Agamamu apa Le?
Bagi orang Indonesia pada umumnya "agamamu apa?" adalah hal yang lumrah ditanyakan.
Untuk urusan administrasi atau kependudukan, pertanyaan ini sering menjadi bagian dari informasi yang dibutuhkan petugas inatansi yang terkait.
Namun dalam pergaulan informal sehari-hari, bagi sebagian dari kita, pertanyaan ini sangat teramat sukar dijawab. Pertama karena yang ditanya bisa tertempatkan pada posisi yang rumit dan kedua karena pertanyaan itu bisa memuat konsekuensi politis yang bisa sangat berat.
Untuk mengerti dua hal tersebut ada gunanya untuk melihat "sesat pikir" atau halusnya "asumsi tak tepat" yang melandasinya.
Saat pertanyaan "agamamu apa?" terlontar, ada tiga asumsi yang sering tidak tepat sebagai berikut:
Pertama, pihak yang ditanya "memiliki" agama.
Di negeri +62, nyaris semua warga negara secara formil dan administratif memiliki agama.Â
Tidak sukar bukan mengungkapkan apa yang tertera atau tertulis di kolom agama di kartu tanda penduduk (ktp)?
Memang tidak sukar.Â
Yang agak sukar adalah bagi mereka yang memaknai kata "memiliki agama" atau "beragama" lebih dari sekedar makna administratif belaka.
Misalnya bagi mereka yang memaknai "beragama" lebih dalam yaitu sebagai "beriman' tentu tidak akan dengan mudah dan enteng mengungkapkan agamanya pada orang lain, terutama di saat keimanannya itu tidak dijalankannya dengan benar, dalam kebimbangan atau dalam situasi lainnya.
Di sisi lain, di berbagai penjuru dunia yang lain, sangat banyak negara yang tidak mewajibkan warganya untuk beragama. Di banyak negara lainnya masalah agama adalah ranah yang terpisah dari soal-soal yang diatur negara.Â
Dalam pergaulan internasional seperti ini, tentu asumsi bahwa "setiap orang beragama" tidak dapat begitu saja diterapkan. Pertanyaan "agamamu apa?" di pergaulan tersebut seringkali menjadi pertanyaan yang wagu alias janggal.
Kedua, pihak yang ditanya setuju bahwa informasi agama ada di ranah publik
Lagi-lagi sebuah kekhasan negeri 62:
Coba kita masukkan nama seorang pesohor ke mesin pencarian Internet, maka kemungkinan besar mesin tersebut secara otomatis menambahkan kata "agama"...
Ketertarikan kita orang Indonesia akan agama orang lain terutama pesohor merupakan tanda bahwa bagi sebagian besar dari kita, informasi agama berada di ranah publik.
Yang mengejutkan adalah apa yang baru saja terjadi dan viral di media sosial di mana seorang penyanyi cilik menyatakan pada seorang pemuka agama bahwa identitas agamanya ada di ranah pribadi atau privat.
Entah apa yang ada di benak sang bocah penyanyi cilik yang sedang sangat populer itu, tetapi menempatkan informasi agama dalam ranah pribadi bisa jadi disebabkan oleh pemahaman hidup beragama sebagai hidup beriman sebagaimana di poin pertama.
Hidup keimanan seseorang jelas berada dalam ranah pribadi. Kehidupan itu tentu tidak enteng untuk diungkapkan ke publik dan publik harus menghargai keputusan tersebut.
Ketiga, tidak ada konsekuensi apa-apa untuk yang ditanya
Saat ditanya, "agamamu apa?" pada situasi yang normal seorang tertanya akan bertanya dalam hatinya: apa konsekuensi dari jawabanku?
Minimal ada dua macam konsekuensi atau dampak yang senormalnya oleh seorang tertanya.
Pertama: kalau sang tertanya menjawab bahwa "Agamaku adalah X" maka publik akan menyoroti tingkah laku, tutur kata, perbuatan si tertanya sebagai seorang penganut agama X.
Bagi seorang yang menjalankan hidup keagamaan dalam konteks hidup keimanan, tentu hal ini berarti tanggung jawab yang teramat besar:Â bagaimana bersikap atau bertindak maupun bertutur kata sebagai penganut agama X?
Pemikiran akan besarnya tanggung jawab tak akan terjadi saat sang tertanya tidak memaknai kehidupan beragamanya sebagai kehidupan beriman.
Konsekuensi kedua adalah dampak terkait karir, masa depan, relasi sosial dan lain-lain.
Jawaban "agamaku X" bisa menurunkan apresiasi dari pendengar yang beragama lain. Bagi seorang pesohor atau tokoh publik hal ini besar pengaruhnya.Â
Bagi orang biasa sekalipun yang hidup di alam yang belum sepenuhnya bebas dari diskriminasi, wajar bagi seorang tertanya untuk kuatir akan dampak jawabannya bagi karirnya, pendidikannya atau sekedar relasi sosialnya.
***
Di negara Pancasila, kehidupan di peradaban yang semakin maju seharusnya diikuti pula dengan kehidupan keimanan yang semakin berkembang. Tanpa mengesampingkan segala tanda, simbol, maupun kegiatan keagamaan yang terlihat, kehidupan beragama harusnya semakin berpusat pada keimanan.
Tingkat kehidupan manusia dan Tuhan yang seperti ini juga yang seharusnya akan semakin menjauhkan kehidupan sosial kita dari pengkotakan, komersialisasi maupun politisasi agama.
Di saat yang sama kehidupan orang Indonesia semakin tidak bisa mengelak dari paparan kehidupan internasional yang memiliki norma yang berbeda, yang walau tidak kita anut harus kita hargai eksistensinya. Menghakimi orang dari sistem lain dengan sistem atau norma penilaian yang kita anut jelas bukan hal yang adil dan hanya menununjukan kecupetan alias betapa sempitnya wawasan kita.
Dua hal itu yang seharusnya membuat kita semakin menimbang rasa atau mengantisipasi perasaan lawan bicara sebelum kita bertanya "agamamu apa?"
Minggu pagi 9 oktober 2022
Pasar Minggu sambil ngantri bubur ayam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H