Sepertinya ada sebagian dari komentator politik di Indonesia ini yang gemar sekali merujuk pada mahluk-mahluk supranatural.
Belum lama yang lalu ada istilah 'tempat jin buang anak' untuk Ibu Kota Negara (IKN). Baru-baru ini muncul lagi kekuatiran dari seorang komentator politik, pseudo akademisi di kanal youtube-nya bahwa IKN akan menjadi 'kota hantu' seperti Naypyidaw, ibu kota negara Myanmar.
Benarkah Naypyidaw kota hantu?
Naypyidaw menjadi ibu kota Myanmar menggantikan Yangon atau Rangoon sejak 7 November 2005.  Naypyidaw terletak di pedalaman Myanmar, 320km di utara ibu kota lama, Yangon yang terletak di pesisir dan dibangun di atas tanah seluas 7046 km² dengan membabat habis hutan jati.
Alasan resmi pemindahan ibu kota Myanmar dari Yangon yang terletak di delta sungai Irawadi di tepi teluk Martaban ke Naypyidaw di pedalaman adalah karena Yangon sudah terlalu padat untuk pengembangan gedung-gedung pemerintah sementara kemacetan lalu-lintas sudah terlalu parah (Pedrosa, 2006).Â
Posisi Naypyidaw yang secara geografis ada di tengah-tengah membuat McGeown (2005) menduga bahwa pemerintah Myanmar juga bermaksud memusatkan pangkalan militernya agar mudah menangkal setiap ancaman dari segala penjuru negeri.
Dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 900 ribuan maka kepadatan Naypyidaw hanyalah sekitar 130 jiwa per km².  Dibandingkan dengan Jakarta yang 14555 jiwa per km² , Medan (9186), atau Menado (2926), Naypyidaw memang sangat 'kosong'.
Kepadatan penduduk Naypyidaw yang 130 jiwa per km² itu setara dengan kota Balikpapan dan lebih padat dari ibu kota Kalimantan Utara yaitu Tanjung Sekor (107 ) atau ibu kota Kalimantan Tengah yaitu Palangka Raya (93).
Kalau sebutan "kota hantu' disematkan pada Naypyidaw karena kepadatannya yang rendah, maka sebutan itu juga berlaku untuk Balikpapan, Tanjung Selor, Palangka Raya dan kota-kota lain di Indonesia yang kepadatannya 130 jiwa per km² atau kurang.
Yang sering menghembuskan istilah "kota hantu" atau ghost town atau ghost city adalah media barat seperti the Independent (2017) atau the Guardian (2015).Â
Mereka, media barat itu mendefinisikan Naypyidaw "kota hantu" sebagai kota dengan infrastruktur monumental dengan penduduk atau lalu lintas yang sangat sedikit.
Soal infrastruktur monumental dengan jumlah pengguna yang kecil memang membuat kesan seram atau eerie.Â
Jalan-jalan utama kota yang minimum berlajur 4 seperti di foto-foto di artikel ini memang sepi pengguna. Bahkan ada jalan utama dengan 20 lajur yang tidak tentu dilewati 1 mobil per menitnya.
Tapi apakah sebutan kota hantu adalah sebuah penilaian yang obyektif? Jelas tidak.
Kita bisa dengan mudah melihat semacam propaganda barat untuk mengolok-olok rejim militer Myanmar yang memang punya reputasi yang buruk dalam soal hak asasi manusia (HAM).
Propaganda yang justru dengan mudah dilahap para komentator politik negeri kita yang lalu dilepehkan pada para folowers-nya yang pada saat yang sama juga mengritisi standar ganda Barat dalam serbuan Rusia ke Ukraina.
Kalau mau objektif, cukuplah dikatakan bahwa Naypyidaw adalah kota yang sangat sepi, sangat sunyi.
Memberi julukan kota hantu berarti mengasumsikan bahwa di Naypyidaw tak ada kehidupan (manusia). Salah besar.
Kota Naypyidaw memiliki kompleks perhotelan megah dan mewah yang terletak di jalan yang menghubungkan bandara dengan pusat kota.Â
Hotel-hotel yang pada umumnya itu memiliki ruang-ruang  pertemuan untuk konvensi internasional itu memang tampak sepi pada tahun 2019 namun sangat jauh dari kesan terbengkalai atau tidak terawat.
Pusat pemerintahan, yaitu kantor-kantor berbagai kementerian berpusat di suatu kawasan sementara gedung-gedung apartemen dan perumahan yang umumnya dihuni para aparatur sipil negara (ASN) terletak di kawasan lain.
Semua gedung pemerintahan dan perumahan yang dibangun sejak 2006 umumnya memiliki rancangan yang sederhana.
Kesederhanaan bangunan-bangunan di ibu kota Myanmar itu bisa dipahami mengingat taraf perekonomian negara dengan pendapatan per kapita sekitar 4500 USD merupakan yang terendah di ASEAN.
Kegiatan agraris warga kota juga terlihat jelas di segala penjuru Naypyidaw, hal mana semakin memberikan kontras antara infrastruktur yang serba berkapasitas besar dengan gaya dan tingkat kehidupan warga yang masih sangat sederhana.
Boleh dibilang bahwa kota Naypyidaw hanyalah sebuah ibu kota baru yang sedang berkembang dengan segala masalah pembangunan kota terutama ketidaktepatan perkiraan pasokan infrastruktur dan permintaan yang jauh dari seimbang.
Daya tarik Naypyidaw jelas masih kurang untuk menarik warga di luar para ASN untuk tinggal di sana maupun pengusaha atau investor untuk memulai bisnis di ibu kota yang baru berumur 15 tahun.
Jelas bahwa keseimbangan antara pasokan infrastruktur dan permintaan karena populasi dan kegiatan ekonomi, serta bagaimana mengundang investasi harus jadi salah satu fokus perancangan IKN di Kalimantan.
Kembali ke Naypyidaw, yang jelas dari sudut pandang yang obyektif seorang yang mengunjungi Naypyidaw yang jauh dari kesan ditinggalkan atau terbengkalai, tidak akan menyebut kota ini sebagai kota hantu.Â
Kecuali jika si pengunjung punya maksud tertentu untuk propaganda atau punya kebiasaan mengasosiasikan segala bentuk kesepian atau kesunyian dengan hal-hal yang wingit, supranatural, jin dan hantu.
Atau mungkin orang tersebut memang punya indera kesekian untuk melihat mahluk astral di foto-foto di tulisan ini.
Akhirnya ada satu kejutan bahwa penduduk Naypyidaw ternyata pengonsumsi jengkol.
Di satu warung saya menemukan menu jengkol yang dipotong tipis, digoreng garing lalu ditumis. Menurut seorang kawan, warga setempat, menu jengkol ini sering dikudap untuk menemani minum bir di udara malam Naypyidaw yang bisa bersuhu cukup dingin.
Apakah jengkol dan bir menu kudapan untuk hantu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H