Mungkin akan ada yang mendebat bahwa hubungan keduanya bukanlah sebab-akibat melainkan melulu ideal yang diimpikan terjadi. Dengan kata lain, seyogyanya seorang manusia yang mendapat rezeki banyak akan semakin bersyukur.
Apakah ideal seperti ini benar? Saya tidak yakin.
Dalam ajaran agama mana pun, saya yakin bahwa manusia selayaknya dan se-ideal-nya tetap bersyukur. Rasa syukur itu idealnya sama besarnya saat yang bersangkutan menerima rezeki banyak, menerima rezeki sedikit, menerima untung maupun malang.
Secara empiris maupun secara ide, bisa disimpulkan bahwa asumsi ini gugur karena cacat. Rasa syukur seseorang tidaklah tergantung alias independent dari rezeki yang ia terima.
2. Cacat Logika
Buat saya ini adalah kecacatan yang terparah dalam soal tersebut. Ada dua penyebab soal tersebut cacat logika.
Pertama, bagaimana seorang peserta didik bisa menyimpulkan profil seorang Pak Ganjar, apakah ia seorang yang beruntung, beriman, rugi atau sukses, berdasarkan atas beberapa asumsi di mana minimal salah satunya sudah terbukti cacat?
Kedua, jika kita mengasumsikan bahwa kedua asumsi tesebut sahih atau tidak cacat, seorang peserta didik saya yakin akan tetap kesulitan untuk mendeduksi alias menyimpulkan profil seperti apa Pak Ganjar tersebut.
Jika kita anggap bahwa kedua asumsi sebelumnya sahih, maka ada dua fakta yang dapat kita ketahui dari pertanyaan itu:
Fakta 1: Pak Ganjar mendapat rezeki banyak
(tapi)