Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film ini (Bukan) Tontonan Preman

3 Agustus 2016   05:06 Diperbarui: 12 Agustus 2016   14:20 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.ourtimesmovie.com

Pernah satu kali saya ditanya seorang sahabat : filem apa yang saya tonton lebih dari dua kali ? Karena bukan orang yang sering nonton filem, jawaban saya satu : filem perang Black Hawk Down (Ridley Scott, 2001). 

Bukan cuma lebih dari dua kali saya menonton filem tentang nasib apes tentara Amerika di Somalia itu, tapi lebih dari dua belas kali. Filem campuran antara kisah kesetiakawanan, rencana yang meleset berantakan dan dar-der-dor eksyen di antara hidup dan mati benar-benar menyalurkan impian saya tentang kehidupan yang agresif, penuh tantangan, resiko dan jantan.

Kalau kata anak Jakarte, intinya filem Black Hawk Down itu gue banget dah. Filem Black Hawk Down melampiaskan jiwa preman seorang lelaki dan mengakomodasi segala rasa macho de niro seorang pria.

Tapi… suatu filem lain yang saya tonton dua minggu secara kebetulan secara tiba-tiba membuat saya mempertanyakan definisi Black Hawk Down sebagai “filem yang gue banget dah” itu.

Usikan Kegilaan Ideal dari Masa Muda

Adalah filem komedi romantic Taiwan berjudul “Our Times” (Frankie Chen, 2015) yang melakukan dekonstruksi atas definisi tersebut.

Singkatnya, filem ini berkisah tentang Lin Zhen Xin (diperankan Joe Chen) seorang perempuan berusia akhir 20an yang mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan di kantornya.

Sering dipuji sebagai karyawan yang patuh dan teladan oleh bossnya, pada suatu saat Lin Zhen Xin mendengar gunjingan rekan-rekan sekantornya membicarakan dirinya. Saat itulah Lin Zhen Xin menyadari betapa dirinya selama ini hanya menjadi sapi perahan oleh bossnya yang sesungguhnya tidak memperhatikan kesejahteraan maupun dedikasinya sama sekali.

Di saat sendiri di rumah, Lin Zhen Xin yang dikisahkan adalah “die-hard” fans Andy Lau, tiba-tiba menyadari betapa hidupnya telah begitu melenceng dari idealisme-nya di masa muda terutama saat masih duduk di bangku SMA di awal dekade 90.  Gejolak berkecamuk di hati Lin: bagaimana dia telah berubah dari gadis muda naif namun pemberani dan bebas di masa SMA menjadi seorang perempuan dewasa yang matang namun penakut, terkekang dan sangat permisif untuk menerima bahwa banyak idealisme masa mudanya yang gagal menjadi kenyataan.

Lagu hit Andy Lau di awal tahun 90-an (Forget love potion) yang dilantunkan radio di rumah Lin tiba-tiba membawa kisah filem ini menjadi flashback ke masa-masa SMA Lin Zhen Xin muda (diperankan oleh Vivian Sung) yang penuh kebebasan dan idealisme.


Beraroma Cinderella, flashback masa SMA menggambarkan bahwa awalnya Lin adalah cewek biasa-biasa saja di SMA yang bersaing dengan puluhan cewek lainnya berusaha merebut hati Ouyang Fei Fan (Dino Lee), siswa pandai teladan yang jago basket dan jago bernyanyi. Sayangnya Ouyang Fei Fan seakan sudah menjalin cinta dengan primadona SMA yaitu Tao Min Min (Dewi Chien).

Dalam perjuangannya menarik hati Ouyang Fei, Lin terpaksa harus berurusan dengan preman sekolahan Xu Tai Yu (Darren Wang). Xu Tai Yu yang suka berkelahi dan setengah mati membenci Ouyang Fei Fan, diam-diam jatuh hati pada sang primadona sekolah pacar Ouyang, yaitu Tao Min Min.

Lin Zhen Xin dan Xu Tai Yu pun bekerja sama dengan satu tujuan: memutuskan hubungan cinta antara Ouyang Fei Fan dan Tao Min Min agar pada akhirnya Lin Zhen Xin bisa mendekati Ouyang Fei Fan dan si preman Xu Tai Yu bisa mendekati Tao Min Min.

Lika-liku rencana komplotan Lin Zhen Xin dan Xu Tai Yu justru membuat keduanya semakin kompak dan dekat. 

Pada akhirnya memang Ouyang Fei Fan jatuh cinta pada Lin Zhen Xin dan Tao Min Min pada si preman Xu Tai Yu sesuai rencana, tetapi dibalik itu ada cinta yang membara antara Lin Zhen Xin dan Xu Tai Yu.

Cliché luar biasa: cinta yang disembunyikan di dalam hati tak pernah sempat terkatakan saat Xu Tai Yu secara mendadak dikirim orang tuanya ke Amerika Serikat untuk berobat (karena ada penyakit otak akibat kebanyakan berkelahi) dan studi di sana.

Kisah flashback berakhir saat 20 tahunan kemudian.  Kenangan masa muda memicu Lin Zhen Xin dewasa melakukan perlawanan atas penindasan dalam hidupnya.  Lin mengajukan surat pengunduran diri ke bossnya di kantor, suatu hal yang tak satu kolegapun berani melakukannya.

Di saat galau karena mundur dari pekerjaan dan bingung karena tidak tahu akan berbuat apa dengan hidupnya, tiba-tiba munculah sang idola masa lalu yaitu Andy Lau (yang memerankan dirinya sendiri) dan Xu Tai Yu dewasa (diperankan Jerry Jan alias Tao Ming Tze dari Meteor Garden). Kedua tokoh ini datang membawa keajaiban dalam hidup Lin Zhen Xin.

Keajaiban yang hanya bisa terjadi di filem, tentu saja.


Tontonan “menye-menye”?

Dalam pada itu keajaiban yang terjadi di alam nyata adalah bahwa saya malah sudah menonton filem “Our Times” ini dua kali dalam waktu dua minggu.

Apa pasal?

Pertama, kadang-kadang hal cliché adalah hal ingin saya tonton

Tanpa saya sadari, mungkin terkadang saya atau kita (?) ingin nonton hal-hal yang cliché.

Kisah Cinderella, di mana gadis biasa-biasa saja seperti Lin Zhen Xin bisa berubah menjadi gadis yang diperebutkan pentolan-pentolan sekolah atau semacam ugly duckling berubah jadi angsa kadang-kala adalah hal yang ingin kita tonton.

Pola-pola kisah yang ujungnya ketebak, seperti cinta antara dua insan yang hanya bisa disimpan dalam hati (sampai ujung filem),  pengorbanan seorang preman yang rela digebuki geng musuh tanpa melawan demi keselamatan sang idaman hati mungkn adalah pola-pola yang ingin kita tonton. Produser yang pintar marketing tentu saja akan menampilkan apa yang ingin pemirsanya tonton.

Kedua, alur cerita yang berjalan singular, linier dan sederhana

Filem penuh kejutan dengan alur tidak linier seperti misalnya ber-alur simultan dengan perpotongan di sana-sini atau berlonjatan dalam keluar masuk bingkai waktu dan tempat yang berbeda-beda seringkali adalah filem yang bagus. Pada saat yang sama, filem yang linier, singular dan beralur sederhana bukan berarti adalah filem yang buruk.

Meski mengandung unsur flash back, "Our Times" adalah filem yang sangat singular, linier dan sederhana. Lempeng. Persis seperti jika kita mengingat-ingat suatu masa dalam hidup kita di mana pada umumnya akan muncul suatu gambaran kronologis yang bisa diturutkan pada suatu garis lurus.

Kesederhanaan ini membuat filem ini jadi begitu ringan untuk ditonton. Sangat cocok bagi mereka yang sekedar mencari hiburan, atau ditengah kehilangan selera akan tontonan berat, njelimet atau penuh intrik.

Ketiga, Cerita dan humor yang mudah ketebak

Terus terang mungkin inilah alasan terkuat saya sampai nonton filem ini lebih dari sekali.

Cerita yang linier yang ujung-ujungnya nyaris ketebak justru rasanya jadi kekuatan filem ini. Perasaan ‘ingin menonton sesuatu yang berjalan sesuai harapan yang menonton’, tidak ada kejutan, rasanya adalah satu subyek yang digarap dengan seksama tapi tanpa berlebihan oleh sutradara “Our Times”. Saat menonton kedua kalinya, terus terang yang saya rasakan adalah pikiran: "nah sehabis ini kan adegannya ini atau begini(!)". 

Tanpa kejutan, tanpa ada rasa penasaran, hanya sekedar perasaan tidak sabar untuk melihat penyelesaian konflik-konflik kecil yang terbangun di filem.

Lebih jauh lagi, humor yang ditawarkan sutradara juga tidak jauh dari humor slapstick yang arahnya terbaca namun disebar secara tidak berlebihan. Misalnya saat Ouyang Fei Fan seakan melambaikan tangan ke arah Lin Zhen Xin. Lin Zhen Xin yang dengan sumringah menyambut lambaian jadi kecele dan pura-pura ngelap-ngelap pohon saat sadar bahwa lambaian itu ditujukan ke Tao Min Min yang berjalan anggun di belakangnya.

Saya tertawa (jujur) bukan per se karena adegannya tapi karena slapsticknya yang saya bisa tebak dan tetap saya tonton.

Terakhir, bukan karena “faktor bening-bening”.

Bukan. Bukan karena faktor bening-bening. 

Kompasianer Om S Aji mungkin akan kecewa karena gadis berpayung yang dinantinya tidak muncul di filem ini. “Our Times” tidak menawarkan wajah-wajah bening sebagai daya tarik filemnya.  

Memang ada semarak gadis-gadis SMA Taiwan di sepanjang filem, namun Our Times menggambarkan siswa-siswi SMA apadanya: ada yang cantik, atau ganteng ada yang jelek dan secara umum adalah biasa-biasa atau cenderung culun atau naif. Penggambaran yang wajar  untuk suatu flashback di tahun 90an di mana akses ke internet praktis belum ada dan role model dalam berdandan atau bergaya dalam kehidupan siswa belum seinvasif hari ini.

AKhirnya, filem “Our Times” sendiri yang dirilis pada semester kedua 2015 di beberapa negara Asia seperti Taiwan (negara asalnya), Singapura, Malaysia dan Cina daratan berhasil meraih sukses cukup besar dalam omzet penjualan tiket. Di Singapura “Our Times” tercatat menjadi box office champion hanya dalam waktu 2 minggu sejak masuk ke bioskop dan bahkan menjadi filem Taiwan yang meraih box office terbesar di Tiongkok daratan.

Dekonstruksi?

Terakhir sekali, kembali ke pertanyaan pertama: apakah dengan menonton “Our Times” dua kali berarti definisi saya bahwa filem “Black Hawk Down” adalah filem yang “gue banget” sudah terdekonstruksi?

Ya dan tidak.

Ya karena saya mendapati bahwa kebutuhan kita akan suatu tontontan atau hiburan semacam filem misalnya adalah tergantung konteksnya. Di saat saya mengagumi "Black Hawk Down", konteks saya adalah Joko P yang macho de nero, ganas, agresif , menanti tantangan dan sok jantan. Di saat saya menikmati "Our Times" di lain waktu maka konteks saya adalah Joko P yang lelah, yang sedang ogah macho-macho-an, ingin bernostalgia dengan lagu Andy Lau misalnya atau ingin tertawa atas kehidupan yang ringan,dan sedang ingin tertawa atas tawa itu sendiri.

Tidak, karena manusia kan tidak perlu selamanya selalu konsisten.

Seorang Lee Kuan Yew yang aslinya sosialis berhasil membuat negeri Singapura jadi negara yang super kapitalis. Seorang Ahok yang tadinya mau maju pilgub lewat jalur independen kan juga boleh untuk sekarang maju Pilkada lewat jalur partai?

Lalu mengapa juga penulis yang konon sangar bak preman seperti Nicolas Cage lalu tidak boleh suatu kali punya hati menye-menye seperti Tommy Page?

…ah sudahlah.

- sekian-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun