Jika membicarakan pemberontakan, mungkin kita akan teringat gambaran mengerikan yang terlintas dalam pikiran. Mulai dari pembunuhan sesama keluarga kerajaan, kudeta suatu rezim, insubordinasi hierarki kemiliteran, hingga perang sipil yang terangkum dalam drama sinema “Gangs of New York”, misalnya. Tapi semua itu adalah gambaran yang terkesan amat politis. Padahal pemberontakan tak melulu tentang politik; Ia bisa hadir di mana saja, di setiap tempat yang tidak lagi dirasa adil, mengekang, dan tak sesuai harapan.
Mungkin pada dasarnya, hidup dengan buta politik itu akan melahirkan apatisme dan menimbulkan jurang empati yang amat dalam, sehingga terpisah jauh dari solidaritas masyarakat. Tetapi jika hidup itu melulu tentang politik, tentu akan menjadi gila. Coba bayangkan, jika suatu hari ada teman yang enggan membayar tiket tol karena adanya faktor politis, karena masa lalu pembangunan jalan tersebut misalnya, dan dia menganggap sikapnya itu sebagai pemberontakan.
Atau bahkan seseorang tersebut tak mau pergi kemana-mana – karena baginya pembangunan jalan – itu hasil dari produk kapitalisme yang harus dilawan secara kafah, sehingga ia mendekam di dalam rumah seumur hidupnya. Sejarah pun mencatat, Mohammad Natsir pernah diusir di dalam ruang resepsi pernikahan, karena sikap oposisinya terhadap rezim. Padahal, apa hubungannya pernikahan dengan politik? Kesetiaan dan komitmennya, mungkin. Ternyata Orde Baru itu selain represif, juga bisa bersikap posesif.
Sejak awal kemunculannya beberapa tahun terakhir di dunia musik tanah air, saya amat tertarik dengan eksistensi seorang musisi, sekaligus arsitek muda, yang besar di Bumi Pasundan ini. Dia bernama Muhammad Tulus. Pria kelahiran 1987 ini, ingin sekali kembali ke tahun sembilan tujuh, seperti yang tertera pada salah satu profil akun sosial medianya. Kota Bandung yang diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum tersebut, mungkin banyak sedikitnya, memengaruhi proses kreativitasnya.
Kemunculan album selftitlednya sebagai debut album, langsung menghebohkan budaya populer, yakni meme. Sampul album yang sederhana dengan desain yang minimalis, dijadikan bahan parodi oleh banyak netizen.Tulus berhasil menciptakan sensasi baru di awal kemunculannya yang cukup menghibur, namun tetap elegan. Dalam album pertamanya yang dirilis di tahun ke-11, di milenia kedua ini, Tulus juga berhasil membius masyarakat dengan beberapa lagu andalan dengan lirik yang sederhana dan juga unik.
Album perdananya ini pun dirilis oleh label rekaman Tulus Record, yang didirikannya bersama kakak kandungnya, Riri Muktamar, di tahun 2010. Selain itu, album ini juga didistribusikan oleh Demajors, perusahaan rekaman yang berkomitmen dalam penyebaran musik independen sejak hampir dua windu yang lalu. Berbagai langkah awalnya ini, ternyata menjadi semacamtrigger baginya untuk memainstreamkan indie dan meng-indie-kanmainstream.
Dalam album pertamanya, Tulus menyapa para pendengarnya dengan catatan sejarahnya pada “Sewindu”. Pada awal-awal bagian lagu mungkin akan terasa seperti laiknya lagu-lagu lirih patah hati yang sewajarnya, yang menyesal terhadap penantian yang begitu lama. Namun ternyata, di sela-sela bagian itu disisipkan perlawanan terhadap paradigma tersebut.
Takkan lagi ku sebodoh ini
Larut di dalam angan-angan tanpa tujuan
Bagian bait ini seperti gugatan Tulus kepada dirinya sendiri, dan juga kecenderungan mental manusia yang patah hati. Tulus terkesan berontak terhadap konsepsi lagu sendu dan mendayu-dayu. Ia mengajak pendengarnya untuk mendongakkan kepala dan melangkah ke depan.
Di album berikutnya, di tahun 2014, Tulus terlihat lebih bersemangat dengan sapaan dalam sampul albumnya yang memperlihatkan wajahnya, yang semringah sambil memegang dagu. Walaupun memang, warna biru yang menjadi latar dari sampul depannya lebih gelap dari sebelumnya. Dua lagunya yang berjudul “Lagu untuk Matahari” dan “Satu Hari di Bulan Juni” terasa lebih enerjik dengan sentuhan pengaruh Paul Anka dan Earth Wind and Fire.
Tak hanya menyapa dengan sentuhan visual yang semringah, Tulus juga menyapa para pendengar dengan seuntai lagu berjudul “Baru”. Lagu baru tersebut benar-benar sesuai dengan judulnya. Seperti keangkuhan yang diputarbalikkan, Tulus membalas pandangan sebelah mata yang ia rasakan sebelumnya – dengan tawaran menikmati perubahannya yang “Baru”. Hal tersebut digambarkan dalam bait di bawah ini.
Nikmatilah kejutanku
ini aku yang baru
Nikmatilah rasa itu
tak lagi dikuasamu
Larik terakhir dalam bait ini seperti penegasan bahwa dirinyalah yang kini berkuasa. Dan seseorang yang sekarang dijatuhkan itu sudah tak bisa apa-apa, cukup menikmati saja.
Sikap tegar dalam perubahannya yang baru itu tak cukup sampai di “Baru” saja. Ia lanjutkan lagi seperti estafet dalam lagu “Gajah”. Jika dalam “Baru” itu ia terkesan lebih antagonis, di lagu “Gajah” ini ia lebih terasa protagonis. Dalam “Gajah”, ia menggambarkan proses perubahnnya. Dan ia tidak sungkan berterimakasih secara tersirat dalam larik terakhir dari bait di bawah ini.
Yang aku hindari hanya semut kecil
Otak ini cerdas kurakit bernafas
Wajahmu tak akan pernah kulupa
Dapat disimpulkan pula bahwa ini merupakan lagu persahabatan yang cukup romantis. Hal tersebut tergambar dalam bait di bawah ini.
Kau temanku kau doakan aku
Punya otak cerdas aku harus sanggup
Bila jatuh gajah lain membantu
Tubuhmu di situ pasti rela jadi tamengku
Jika Efek Rumah Kaca menganggap “Jatuh Cinta itu Biasa Saja”, Tulus justru berbanding terbalik 360 derajat, dengan seolah meminta pendengarnya agar – mencintai seseorang seistimewa mungkin, dalam lagu “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”. Dalam lagu ini, ia mendobrak pandangan lama yang menganjurkan: jika ingin mencintai seseorang haruslah apa adanya. Tulus mencoba menghadirkan paradigma baru di tengah paradigma yang usang. Hal tersebut sah-sah saja, karena sejatinya, tiada pandangan yang benar-benar benar.
Pendobrakan tersebut terasa betul di kedua bait, di bawah ini.
Kau terima semua kurangku
Kau tak pernah marah bila ku salah
Engkau selalu memuji apapun hasil tanganku
Yang tidak jarang payah
Bait ini tergambarkan dalam dua rezim pertama Indonesia. Kedua rezim dengan pemimpin yang keduanya memiliki pendukung fanatik, yang selalu mencintai dan mengelu-elukan apa pun kesalahannya. Keduanya terpilih bukan karena apa adanya. Tapi keduanya hancur karena cinta yang semakin tidak menyehatkan.
Dalam lagu ini, Tulus juga tidak mengkritik sesuatu. Dia justru mengajak untuk saling mengkritik, agar dalam mencintai seseorang tetaplah secara rasional, dan tak terjebak cinta buta.
Tuntutlah sesuatu
Biar kita jalan
ke depan
Dalam bait ini, contohnya. Tulus seolah bermanifes bahwa suatu tuntutan itu adalah kunci dari suatu kemajuan. Dan hal ini memang benar adanya. Bung Karno dan Pak Harto, misalnya, keduanya jatuh karena tuntutan – dari mereka yang di bawahnya – sebagian tak didengarkan, dan sebagiannya lagi dijadikan lawan. Keduanya meninggalkan catatan buruk dalam Manifes Kebudayaan dan Petisi 50.
Di album ketiganya, Tulus mencoba menampakkan wajah yang lebih kelam, bahkan yang terkelam dari dua album sebelumnya. Tatapan wajah dengan pandangan matanya yang agak murung diselimuti efek kabut memberi kesan sejuk, dan agak mencekam pada sampul albumnya. Ia “Pamit” lebih dulu sebelum memulai lebih jauh lembaran yang baru di tahun ini. Lagu
“Pamit” ini diawali dengan alegori yang menggambarkan pertentangan batin kedua pihak. Tergambar jelas pada bait di bawah ini.
Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saat kumenanti fajar
Dan, lagi-lagi Tulus menunjukkan kedewasaannya dalam bait seperti di bawah ini.
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu
Dalam “Pamit” ini, secara disadari atau tidak, ia mengimplementasikan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Walaupun berbeda keputusan dan melewati berbagai pertentangan, ia ingin tetap menjadi teman baik. Perpisahan bukan berarti permusuhan, baginya.
Setelah ber”Pamit”an, Tulus mencoba menaiki tapakan yang lebih tinggi. Ia mencoba bertasawuf dalam lagu terbarunya berjudul “Ruang Sendiri”. Ia seperti ingin menepi untuk menyepi dari ingar-bingar, agar mampu lebih peka dalam mencintai sesuatu. Dan keinginan itu terasa betul pada bait di bawah ini.
Kita tetap butuh ruang sendiri sendiri
Untuk tetap menghargai oh rasanya sepi
Manfaat dari menyepi di “Ruang Sendiri” itu dijabarkan dalam bait di bawah ini.
Baik buruk perubahanku tak akan kau sadari
Kita berevolusi
Bila kita ingin tahu seberapa besar rasa yang kita punya
Kita butuh ruang
Jika “Pamit” menyiratkan pesan persatuan, “Ruang Sendiri” malah menyiratkan pesan reliji. Tulus pun berdakwah melalui cinta, sebagaimana Gus Dur melawan melalui humor.
Sungguh besar kuasa-Nya.
Tulus telah membuktikan bahwa pemberontakan itu tidaklah harus mengerikan. Tulus telah mematahkan paradigma Mao Zedong perihal “revolusi yang bukan sekadar jamuan makan malam”. Di tangan Tulus, pemberontakan bisa seindah putri malu yang enggan tersentuh embun pagi. Pemberontakan tidaklah harus seperti Letkol. Untung yang berakhir buntung. Walau terkadang pemberontakan yang tulus betul-betul akan bernasib seperti Wiji Thukul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H