Dalam lagu ini, Tulus juga tidak mengkritik sesuatu. Dia justru mengajak untuk saling mengkritik, agar dalam mencintai seseorang tetaplah secara rasional, dan tak terjebak cinta buta.
Tuntutlah sesuatu
Biar kita jalan
ke depan
Dalam bait ini, contohnya. Tulus seolah bermanifes bahwa suatu tuntutan itu adalah kunci dari suatu kemajuan. Dan hal ini memang benar adanya. Bung Karno dan Pak Harto, misalnya, keduanya jatuh karena tuntutan – dari mereka yang di bawahnya – sebagian tak didengarkan, dan sebagiannya lagi dijadikan lawan. Keduanya meninggalkan catatan buruk dalam Manifes Kebudayaan dan Petisi 50.
Di album ketiganya, Tulus mencoba menampakkan wajah yang lebih kelam, bahkan yang terkelam dari dua album sebelumnya. Tatapan wajah dengan pandangan matanya yang agak murung diselimuti efek kabut memberi kesan sejuk, dan agak mencekam pada sampul albumnya. Ia “Pamit” lebih dulu sebelum memulai lebih jauh lembaran yang baru di tahun ini. Lagu
“Pamit” ini diawali dengan alegori yang menggambarkan pertentangan batin kedua pihak. Tergambar jelas pada bait di bawah ini.
Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saat kumenanti fajar
Dan, lagi-lagi Tulus menunjukkan kedewasaannya dalam bait seperti di bawah ini.
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu
Dalam “Pamit” ini, secara disadari atau tidak, ia mengimplementasikan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Walaupun berbeda keputusan dan melewati berbagai pertentangan, ia ingin tetap menjadi teman baik. Perpisahan bukan berarti permusuhan, baginya.
Setelah ber”Pamit”an, Tulus mencoba menaiki tapakan yang lebih tinggi. Ia mencoba bertasawuf dalam lagu terbarunya berjudul “Ruang Sendiri”. Ia seperti ingin menepi untuk menyepi dari ingar-bingar, agar mampu lebih peka dalam mencintai sesuatu. Dan keinginan itu terasa betul pada bait di bawah ini.
Kita tetap butuh ruang sendiri sendiri
Untuk tetap menghargai oh rasanya sepi
Manfaat dari menyepi di “Ruang Sendiri” itu dijabarkan dalam bait di bawah ini.