Tak hanya menyapa dengan sentuhan visual yang semringah, Tulus juga menyapa para pendengar dengan seuntai lagu berjudul “Baru”. Lagu baru tersebut benar-benar sesuai dengan judulnya. Seperti keangkuhan yang diputarbalikkan, Tulus membalas pandangan sebelah mata yang ia rasakan sebelumnya – dengan tawaran menikmati perubahannya yang “Baru”. Hal tersebut digambarkan dalam bait di bawah ini.
Nikmatilah kejutanku
ini aku yang baru
Nikmatilah rasa itu
tak lagi dikuasamu
Larik terakhir dalam bait ini seperti penegasan bahwa dirinyalah yang kini berkuasa. Dan seseorang yang sekarang dijatuhkan itu sudah tak bisa apa-apa, cukup menikmati saja.
Sikap tegar dalam perubahannya yang baru itu tak cukup sampai di “Baru” saja. Ia lanjutkan lagi seperti estafet dalam lagu “Gajah”. Jika dalam “Baru” itu ia terkesan lebih antagonis, di lagu “Gajah” ini ia lebih terasa protagonis. Dalam “Gajah”, ia menggambarkan proses perubahnnya. Dan ia tidak sungkan berterimakasih secara tersirat dalam larik terakhir dari bait di bawah ini.
Yang aku hindari hanya semut kecil
Otak ini cerdas kurakit bernafas
Wajahmu tak akan pernah kulupa
Dapat disimpulkan pula bahwa ini merupakan lagu persahabatan yang cukup romantis. Hal tersebut tergambar dalam bait di bawah ini.
Kau temanku kau doakan aku
Punya otak cerdas aku harus sanggup
Bila jatuh gajah lain membantu
Tubuhmu di situ pasti rela jadi tamengku
Jika Efek Rumah Kaca menganggap “Jatuh Cinta itu Biasa Saja”, Tulus justru berbanding terbalik 360 derajat, dengan seolah meminta pendengarnya agar – mencintai seseorang seistimewa mungkin, dalam lagu “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”. Dalam lagu ini, ia mendobrak pandangan lama yang menganjurkan: jika ingin mencintai seseorang haruslah apa adanya. Tulus mencoba menghadirkan paradigma baru di tengah paradigma yang usang. Hal tersebut sah-sah saja, karena sejatinya, tiada pandangan yang benar-benar benar.
Pendobrakan tersebut terasa betul di kedua bait, di bawah ini.
Kau terima semua kurangku
Kau tak pernah marah bila ku salah
Engkau selalu memuji apapun hasil tanganku
Yang tidak jarang payah
Bait ini tergambarkan dalam dua rezim pertama Indonesia. Kedua rezim dengan pemimpin yang keduanya memiliki pendukung fanatik, yang selalu mencintai dan mengelu-elukan apa pun kesalahannya. Keduanya terpilih bukan karena apa adanya. Tapi keduanya hancur karena cinta yang semakin tidak menyehatkan.