Pencabutan subsidi listrik secara bertahap akan dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat pun menyambutnya dengan beragam ekspresi. Ada yang langsung amarah karena menambah biaya hidup. Ada yang diam karena tak tahu apa-apa soal kebijakan ini. Bahkan, tak sedikit masyarakat mengkritik dari yang implisit maupun ceplas-ceplos.
Kita tentu paham bahwa listrik merupakan penunjang pokok keseharian kita. Mulai dari penerangan malam hari hingga menghangatkan air untuk membuat secangkir kopi. Kehidupan yang makin modern, membuat kita mengubah pola hidup yang lebih mangkus dan sangkil. Memasak kalau dulu memakai pawon dan kompor minyak, sekarang memakai penanak listrik three in one atau all in one.
Situasi yang terlampau nyaman membuat kita naik darah bila sedikit saja terusik. Kebijakan pemerintah soal pencabutan listrik tentu membuat kita terganggu. Kenaikan Tarif Dasar Listrik terus meningkat dari Rp. 1.300,- per KWH hingga menjadi Rp. 1.700,- per KWH menjelang Agustus 2017 nanti.
Pusing bukan? Memang. Beli token listrik yang awalnya Rp. 50.000,- dapat 41 KWH, kini cuma dapat 35 KWH saja. Harga listrik seakan menambah beban hidup secara signifikan. Yang tak susah, kini dadanya terasah susah. Yang awalnya bahagia, kini jadi cemberut.
Tetapi, sekarang coba kita cek datanya. Berdasarkan data MESDM dan PLN (2017), segmen 450 VA di Indonesia berjumlah 23,1 juta pelanggan. Segmen 900 VA dalam kelompok 1 sebanyak 4,1 juta pelanggan dan kelompok 2 sebanyak 19 juta pelanggan. Sesuai komitmen pemerintah dengan "judul" subsidi listrik tepat sasaran tahun 2017, yang tidak disubsidi dan yang akan dicabut subsidinya adalah yang segmen 900 VA. Yang segmen 450 VA tidak.
Selain itu, kebijakan pencabutan subsidi listrik 900 VA tidak serta merta dieksekusi begitu saja. Ada tahapan perencanaan serta upaya penyusunan data terpadunya. PLN pada Januari-Maret lalu ternyata telah melakukan pendataan langsung sebagai upaya mencocokkan data pelanggan PLN.
Hasilnya, dari sebanyak 4,1 juta pelanggan yang merupakan segmen 900 VA, hanya 3,9 juta pelanggan saja yang teridentifikasi pengguna PLN, sisanya sebanyak 196.000 masih "gak jelas" menggunakan PLN atau tidak. Di sisi data saja, pemerintah tampaknya hendak merapikannya.
Kebijakan menuju pencabutan subsidi listrik 900 VA juga tak asal-asalan soal siapa sih target alokasi subsidi itu?.
Sasaran pertama target subsidi listrik adalah rumah tangga yang terdaftar dalam data terpadu Program Penanganan Fakir Miskin. Termasuk mereka yang tinggal di rusunawa dan rusunami.
Kedua, penerima subsidi listrik itu adalah rumah tangga yang salah satu anggota rumah tangganya memiliki kartu pemerintah, baik KPS, KKS, KIP atau KIS.
Sasaran ketiga adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Namun tentu, syarat perlu untuk mendirikan UMKM haruslah terdaftar dahulu dan mempunyai izin usaha. Di samping itu, sebenarnya pemerintah ingin meningkatkan peran sektor UMKM karena dinilai sebagai sektor produktif dan berdaya serap SDM yang tinggi. Pemerintah mau iming-iming sebetulnya, "mau dapat subsidi listrik 900 VA? yuk usaha UMKM" begitu.
Dan yang terakhir adalah golongan tarif sosial, seperti sekolah, rumah sakit dan rumah ibadah. Ini penting mengingat golongan tarif sosial merupakan fasilitas yang digunakan oleh umum.
Lantas, patutkah kita mengeluh? Sasarannya jelas. Atau mungkin, kita yang megeluhkan kebijakan pencabutan subsidi listrik ini justru "kurang piknik". "Kurang piknik" dalam arti belum pernah merasakan betapa sulitnya mereka yang sama sekali belum terjamah oleh listrik.
Kalau jalan-jalan ke Halmahera misalnya, kita akan dapati penduduk di pulau-pulau kecil masih belum menikmati pelayanan listrik. Jangankan yang pulau, di Halmahera itu ada kecamatan yang notabene berada di sekitar lingkar tambang emas. Tapi hingga kini, mereka bisa menikmati cahaya listrik beberapa jam saja dalam sehari. Setelah itu rata-rata 3-5 hari ke depan mereka harus menggunakan genset atau pelita untuk menerangi rumah-rumah mereka.
Kenaikan TDL listrik dan dicabutnya subsidi 900 VA justru aneh bila dikeluhkan mereka yang berpenghasilan tetap. Pemerintah tak semudah membalikkan tangan untuk sampai pada "ketok palu" subsidi listrik 900 VA dicabut. Ada serangkaian tahapan yang justru perlu untuk kita ketahui. Toh apabila terdapat pihak yang seharusnya dapat subsidi namun kenyataannya tak dapat, juga diberikan prosedur jelas bagaimana cara pelaporannya.
Ya...meski aspek sosialisasinya sangat kurang, hehehe...
Beberapa tahapan melapor soal hak memperoleh subsidi adalah:
1. Datang ke kantor kelurahan dengan membawa berkas berupa:
salinan KTP
salinan KK
salinan KKS, KIS KPS bila ada
bukti pembelian listrik atau token listrik bagi pelanggan PLN
bukti pembelian listrik di tempat lama bila pindah tempat
surat keterangan dari RT RW untuk yang pindah tempat
surat pernyataan pindah tempat bila pindah tempat
2. Mengisi formulir pengaduan yang tersedia di kelurahan atau bisa diunduh di subsidi.djk.esdm.go.id lalu isi dan diserahkan ke kelurahan untuk ditindaklanjuti.
Jelas kan? Jadi soal bagaimana kebijakan subsidi listrik 900 VA dicabut, di situ selain menuntut kita untuk berhemat dalam menggunakan listrik, juga memikirkan nasib orang lain yang "belum merdeka" karena hidup tanpa cahaya listrik.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H