Dan yang terakhir adalah golongan tarif sosial, seperti sekolah, rumah sakit dan rumah ibadah. Ini penting mengingat golongan tarif sosial merupakan fasilitas yang digunakan oleh umum.
Lantas, patutkah kita mengeluh? Sasarannya jelas. Atau mungkin, kita yang megeluhkan kebijakan pencabutan subsidi listrik ini justru "kurang piknik". "Kurang piknik" dalam arti belum pernah merasakan betapa sulitnya mereka yang sama sekali belum terjamah oleh listrik.
Kalau jalan-jalan ke Halmahera misalnya, kita akan dapati penduduk di pulau-pulau kecil masih belum menikmati pelayanan listrik. Jangankan yang pulau, di Halmahera itu ada kecamatan yang notabene berada di sekitar lingkar tambang emas. Tapi hingga kini, mereka bisa menikmati cahaya listrik beberapa jam saja dalam sehari. Setelah itu rata-rata 3-5 hari ke depan mereka harus menggunakan genset atau pelita untuk menerangi rumah-rumah mereka.
Kenaikan TDL listrik dan dicabutnya subsidi 900 VA justru aneh bila dikeluhkan mereka yang berpenghasilan tetap. Pemerintah tak semudah membalikkan tangan untuk sampai pada "ketok palu" subsidi listrik 900 VA dicabut. Ada serangkaian tahapan yang justru perlu untuk kita ketahui. Toh apabila terdapat pihak yang seharusnya dapat subsidi namun kenyataannya tak dapat, juga diberikan prosedur jelas bagaimana cara pelaporannya.
Ya...meski aspek sosialisasinya sangat kurang, hehehe...
Beberapa tahapan melapor soal hak memperoleh subsidi adalah:
1. Datang ke kantor kelurahan dengan membawa berkas berupa:
salinan KTP
salinan KK
salinan KKS, KIS KPS bila ada
bukti pembelian listrik atau token listrik bagi pelanggan PLN