"Bu, aku dimana, Bu?", ia bertanya kepadaku.
"Bapak yang tenang, ya, sekarang Bapak dalam penanganan para dokter ahli, hahahaha...."
"Lho, kok Ibu tertawa-tawa ?, kenapa, Bu ? ada apa denganku, Bu?", tanya suamiku padaku.
"Bapak akan segera sembuh, kok..hahahaha.."
Tok dan Dur kini hanya bisa menangisi ibunya itu. Setelah beberapa bulan setelah ditinggal sang ayah mereka tercinta, ibunya sering menggigau, sering melamun, sering membayangkan, hingga sering berbicara sendiri. Mereka harus membawa ibunya ke rumah sakit tempat ruangan bapaknya dirawat dulu. Ibunya berbicara sendiri kepada bantal guling yang mereka saksikan dengan para dokter itu. Kini tibalah hari keseratus dari kematian bapak Tok dan Dur. Rumahnya tampak sepi sebab ibunya tampak terus termenung di halaman depan dengan mata tak bernyawa. Dihiasi dengan alunan ritme suara jamaah Yaasiinan yang menghadiahkan pahala untuk bapaknya di hari itu.
Tok dan Dur tampak saling berpelukan.
"Kak, aku sangat merindukan Bapak, Kak"
"Sama, Dur. Aku juga merindukan Bapak. Sangat rindu."
Mereka berdua menangis sendu dan teriring doa untuk bapaknya.
"Semoga dosa bapak diampuni Allah, ya Kak"
"Aamiin.."