Kedua, kita hidup di negara yang lemah dalam penegakan hukum. Berharap tegaknya hukum di negeri ini, sama halnya dengan menunggu kepastian kapan lalu lintas Jakarta tidak macet lagi. Apa korelasinya? Andaikan hukum dapat ditegakkan dengan baik di tanah air, perilaku konsumtif, serakah mau menang sendiri dan kemubaziran pengguna jalan raya tentu tertata dan terkelola dengan baik. Coba kita perhatikan di negara-negara maju yang proses hukumnya sudah ditegakkan dengan baik, perilakunya hati-hati, menghindari pemborosan, menghargai waktu dan tidak merugikan orang lain.
Upaya mencari pembenaran bahwa apa yang saya ucapkan “TIDAK SALAH”, sebenarnya itu hal yang tidak perlu buat Ahok. Karena jika ia dapat melihat lebih jernih, sebenarnya “Banyak” orang yang menginginkannya agar berubah, menjadi pemimpin yang tegas sekaligus santun.
Justru upaya pembenaran menjadikannya tetap bersikukuh bahwa tabiatnya saat ini sudah benar, “Ahok itu ya seperti ini”
Terbelahnya sikap pro dan kontra, sebenarnya gambaran bahwa kemampuan yang dimilikinya masih bisa diterima sebagai seorang pemimpin, namun ada sebagian pihak yang merasa terluka dari sikap dan ucapannya yang kurang kontrol diri.
Seandainya kali ini ia lolos dari jerat hukum, dan ia merasa sikapnya “TIDAK SALAH”, sebenarnya di ujung lain kelak sudah menunggu, ia akan mengulangi kesalahan yang sama dengan konsekuensi yang lebih besar.
Berkali-kali kita harus menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang berbatas. Mengapa tidak, pemimpin dan seluruh rakyatnya bahu-membahu saling melengkapi keterbatasan itu, untuk menghasilkan output yang tidak terbatas.
Meskipun Ahok bukan sosok sempurna untuk memimpin Jakarta, namun sebagian orang masih bisa menerimanya untuk mengatasi prioritas pembangunan SDM di Jakarta saat ini.
Ia akan menang karena lawan-lawan lain kurang “Cemerlang”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H