Mekanisme pengajuan calon presiden maupun kepala daerah di sebuah Parpol tidak selalu berbuah manis. Jika dikatakan mirip dengan perjudian, susah ditebak hasilnya, namun pola output yang dimunculkan sebenarnya bisa dipelajari, karena memiliki struktur yang konsisten sebagaimana teori probabilistik model.
Jika lembaga survey memotret kondisi teraktual tren pilihan pemilih, namun tidak serta merta dapat memproyeksikan gambaran hasil jauh-jauh hari. Maka kejelian pemimpin yang bijaksana yang dapat memprediksi jauh hari sebelum pemilihan dilaksanakan.
Sewaktu Partai Gerindra dan Koalisi Merah Putih mendeklarasikan untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres, dalam hati kecil saya bertanya-tanya. Kenapa “The Rising Star Jokowi”, hanya dihadapkan dengan seorang Prabowo?
Bukankan Prabowo kali ini maju dengan luka-luka yang pernah ia bawa saat gagal memenangkan capres-cawapres berduet dengan Megawati (Pemilu 2009).
Menyodorkan kandidat pemimpin (capres-cawapres) yang pernah kalah diperiode sebelumnya, sebenarnya menunjukkan bahwa partai kurang punya inisiatif dan keberanian untuk memunculkan banyak calon-calon pemimpin baru. Sama halnya dengan pramusaji yang membawakan nampan kepada tamu restorang sembari berkata, “Menu hari ini adalah nasi goreng kemarin Pak, tapi sudah diangetin.” Ini tidak lebih dari menawarkan pemimpin yang figurnya telah diketahui tidak lebih baik dari pemimpin yang tengah berkuasa saat ini.
Pada pemilu 2014, Rakyat diminta membandingkan kehebatan (prestasi dan track record) Prabowo dengan presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya, Pak SBY. Jika saya seorang politisi atau simpatisan dari Partai Gerindra tentu saja berkomentar, “Tunggu dulu, Anda pasti tidak mengenal betul siapa Prabowo?” Namun sebagian besar Rakyat Indonesia adalah masyarakat awam, yang tentu saja melihat Pak SBY adalah presiden yang sudah menyempurnakan masa tugasnya selama 10 tahun. Ia lebih terbukti dengan berbagai prestasi.
Sebagai masyarakat awam kami hanya bisa membayangkan, “Memilih Prabowo sebagai Presiden adalah bukan sebuah langkah maju, karena sebelumnya kita sudah mempunyai Presiden yang lebih baik dari Prabowo. Baik prestasinya dimiliter maupun pengalamannya di pemerintahan”.
Kebimbangan masyarakat akhirnya dituangkan dengan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke-6 RI. Meskipun kala itu ia belum bisa dikategorikan sebagai “Tokoh Nasional”, karena kiprahnya masih lebih banyak di lingkup yang lebih kecil sebagai Walikota. Hati kecil saya mengatakan, “Jokowi terpilih bukan karena kemampuannya yang luar biasa, namun disebabkan karena kebetulan lawannya yang kurang cemerlang.”
Kini Jokowi menjelma dari sosok seorang walikota yang bersahaja dan pekerja keras, telah terangkat menjadi seorang presiden yang kedudukannya dekat dengan rakyat, ringan tangan dan juga pekerja keras.
GAGAL 2 KALI
Kegagalan memenangkan hati rakyat sebanyak dua kali bahkan pernah dialami seorang Putri Proklamator kita, Megawati. Seharusnya ini bisa dijadikan referensi untuk Partai lain, seperti Gerindra, “Apakah mengajukan Prabowo lagi di pilpres 2019 adalah langkah maju, atau menjadi usaha yang sia-sia”. Mengulangi pengalaman PDIP dengan Megawatinya.