Namun sekali lagi melihat track record Walker Bush yang penuh pengalaman, ditambah lagi bisnis dan usahanya di bangun dan dibesarkan di Texas, sehingga ia cukup dikenal di negara bagian tersebut. Ketika ia mencalonkan sebagai Gubernur, warga Texas sudah mengenal betul sosok Walker Bush. Dan ini menjadi poin penting baginya untuk terpilih di Texas yang kemudian mengantarkannya sebagai orang nomor 1 di AS.
Berbeda dengan AHY yang maju dengan pengalaman yang belum sepenuhnya teruji. Seandainya ia mau sedikit bersabar dengan mengembangkan kemampuannya memimpin di lingkup parpol, serta lebih hati-hati mebangun track record yang positif dari kontribusi-kontribusinya di kota Jakarta maupun tingkat nasional, mungkin ia maju dengan daya tarik yang jauh lebih besar. Orang akan membandingkan sosoknya dengan Walker Bush, yang telah berhasil melampaui prestasi ayahnya.
Namun, meninggalkan karir sebelumnya di militer dan beralih haluan ke dunia politik dengan mengajukan diri sebagai cagub, terkesan seperti coba-coba. Lagi-lagi masyarakat bertanya-tanay, “Ada apa dengan Agus?” Ini sangat disayangkan, karena setiap yang tidak dilakukan dengan pertimbangan yang matang, meruntuhkan kepercayaan pemilih yang sangat potensial kita peroleh jika kita maju di periode selanjutnya.
Selebihnya Sylviana mendampinginya sebagai tokoh senior di Pemerintah Provinsi DKI, diharapkan mengisi keterbatasan AHY dari dalam. Namun, sebagai orang awam saya tentu bertanya, jika sudah ada orang nomer 1 di DKI (Ahok) kenapa saya memilih orang nomer 2 di DKI.... . Ini yang menjadikan Sylvi kesulitan untuk mengangkat rating pasangan ini ke tempat yang jauh lebih tiggi.
Kembali ke Ahok, meskipun kontribusi konkrit pembangunan Jakarta selama periode jabatannya masih banyak yang meragukan, namun ia punya karakter yang kuat untuk memperbaiki Jakarta dari dalam, dari Birokrasinya. Ia memiliki keseriusan untuk membuang duri serta akumulasi penyakit kronis yang dimiliki Jakarta pada periode sebelumnya. Korupsi, Kolusi, Manipulasi bahkan Premanisme adalah penghambat kemajuan Jakarta yang merusak struktur dari dalam. Meskipun Banjir, Kemacetan, Urbanisasi adalah hal yang kritikal untuk diselesaikan, namun penyakit-penyakit Jakarta jauh lebih penting untuk disembuhkan lebih dulu. Bagaimana mungkin mengharapkan kemajuan yang pesat jika dibangun dari pribadi-pribadi yang sedang sakit.
KASUS AHOK MENGHAMBATKAH?
Lalu bagaimana dengan kasus “Penodaan Agama” yang membelit Ahok? Apakah ini akan memberatkan upayanya memenangkan Pemilukada?
Sebagai seorang muslim, Saya pribadi juga merasa “Tidak Terima” dengan ucapan Ahok yang kerap kali berbicara “Sembarangan” dan bukan pada tempatnya. Saya yakin jika Ia hidup di Inggris, pasti sudah tidak ada ampun lagi, dicopot dari jabatannya. Seperti Glen Hoddle yang berbicara ngelantur bukan di bidang sepak bola, tidak perlu diproses hukum, langsung dicopot dari jabatan pelatih Timnas Inggris. Karena bagi seorang Pejabat atau Public Figur, berbicara di luar kewenangannya adalah sebuah “KESALAHAN BESAR”. Seolah-olah mengabaikan orang-orang yang berpuluh-puluh tahun bergelut dan mendalami bidang tersebut dengan hasil riset dan kajian yang mendalam dibidangnya.
Sungguh ini menunjukkan kontrol dari dalam yang lemah dari Ahok. Bagaimana mungkin kita mempercayai orang untuk memimpin masyarakat luas, jika ia sendiri tidak mampu menguntrol pribadinya sendiri?
Namun saya mencoba melihat dengan cara yang bijaksana, melalui 2 hal.
Pertama, kurangnya kontrol diri adalah tumbuh dari kebiasaan. Seperti artikel kami sebelumnya (http://www.kompasiana.com/joko_hariyono/ahok-kejeglong_583e9d89517a610f077ab044) . Kebiasaan yang berjalan bertahun-tahun tanpa keinginan untuk memperbaiki, sama halnya mencabut pohon besar dengan tangan kosong. Bisa, namun susah dan butuh waktu lama. Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang (Aristotle).