Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pengadilan dan sistem peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA) terus menjadi “pekerjaan rumah" bagi lembaga tersebut. Pelibatan masyarakat untuk dapat secepat mungkin mendeteksi dugaan pelanggaran menjadi kebutuhan mutlak.Namun, pengaduan tanpa ada respon yang cepat dari MA juga bakal percuma. Bagaimana pun, aduan tanpa tindak lanjut tidak akan mengubah situasi. Berangkat dari fenomena dan pemikiran tersebut, MA bersama Uni Eropa dan United Nations Development Program (UNDP) mengembangkan perangkat baru pengawasan, bernama Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS) (Kompas, 29/09/2016).
Adapun payung hukum kehadiran SIWAS adalah Peraturan MA Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengaduan (Whistleblowing System) di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Sistem ini merupakan penyempurnaan dari ketentuan sebelumnya yang hanya berlaku bagi warga internal peradilan saja. Dalam SIWAS sekarang masyarakat punya jalur untuk melapor dimana aplikasinya bisa diakses di situs MA melalui siwas.mahkamahagung.go.id.
Melansir rilis media oleh MA baru-baru ini, saat ini MA sedang dalam proses mendiskusikan program-program pencegahan dan pemberantasan korupsi yang nantinya akan melibatkan KPK, Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Yudisial. Dalam proses ini, MA juga membuka diri atas masukan dan input dari unsur masyarakat sipil yang memiliki perhatian terhadap upaya pembaruan peradilan, di antaranya, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeiP).
SIWAS adalah salah satu bentuk komitmen MA untuk mengembalikan marwah dunia peradilan di Indonesia, karena partisipasi masyarakat dalam pembenahan citra peradilan, khususnya penegakan etika dan moral hakim, semakin luas. Untuk kepentingan tersebut, dalam Perma Nomor 9 Tahun 2016 diatur tentang definisi Pelapor secara lebih luas, tidak hanya internal warga peradilan tetapi juga eksternal atau masyarakat umum. Mereka diberi jalur untuk melaporkan dugaan pelanggaran, ketidakjujuran dan pelanggaran kode etik yang dilakukan aparatur peradilan.
Perma tersebut juga akan memberikan jaminan perlindungan kerahasiaan identitas bagi para pelapor (whistlebower), jaminan transparansi penanganan pelaporan, dan akuntabilitas pelaksanaannya. Sehingga diharapkan pelapor tidak perlu kawatir bahwa hak haknya terhadap pelayanan pengadilan akan terganggu apabila mereka melakukan pengaduan.
Penutup
Langkah-langkah tegas harus terus dilakukan untuk menumpas mafia peradilan yang telah mencoreng kehormatan peradilan melalui reformasi total. Dengan demikian, insya Allah, generasi koruptif dapat dihapuskan dan marwah peradilan dapat dikembalikan pada kedudukannya yang paling terhormat. Reformasi total merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mengoreksi keadaan carut marut seperti sekarang ini dimana aparatur peradilan relatif merata dalam melakukan kejahatan yudisial dalam tugasnya.
Hal itu akan menjadikan hancurnya penegakan hukum di Indonesia mengingat peradilan adalah pilar terakhir untuk mendapatkan keadilan di negara hukum.
Pun demikian, pada akhirnya semua kembali pada hakekat diciptakannya manusia oleh Tuhan sebagai khalifatullah fil ardhi (wakil Allah di muka bumi) yang diperintahkan untuk menjauhkan seluruh larangan-Nya dan mengindahkan semua perintah-Nya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia dilarang berbuat kerusakan, termasuk perilaku koruptif yang merusak rasa keadilan dan mengusik peri kemanusiaan.
Sebagaimana Allah telah berfirman dalam QS Al-‘Araf (7) ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Untuk itu hendaknya manusia kembali kepada, meminjam istilah Dr. Azmi Syahputra, “auto regulasi manusia” yang memegang teguh kitab Allah sebagai pedoman hidupnya agar selamat dunia dan akhirat. Insya Allah.