Mohon tunggu...
Joko_Siswanto
Joko_Siswanto Mohon Tunggu... -

tak ada kata terlambat untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Marwah Peradilan Indonesia

6 Oktober 2016   11:10 Diperbarui: 6 Oktober 2016   16:56 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Catatan kecil atas tulisan guru saya Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H. di kompasiana.com 22 September 2016, "Menjaga Independensi dan Integritas Peradilan Kajian Juridis Ilmiah Religius”)

Miris, geram, kecewa. Begitulah perasaan yang kerap timbul setiap mendengar atau melihat berita penangkapan aparat penegak hukum karena terlibat kasus korupsi. Betapa tidak? Mereka yang sejatinya menjadi pengawal penegakan hukum malah merobohkan bangunan hukum itu sendiri. Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mencatat sedikitnya ada 28 orang hakim/panitera/pegawai pengadilan yang terjerat berbagai kasus korupsi (Harian Jogja, 20/05/2016). Kondisi ini menunjukkan praktik korupsi di lingkungan lembaga peradilan sudah sistemik, masif, dan mengakar. Persoalan pengawasan yang lemah semakin memperburuk citra lembaga peradilan di mata publik.

Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption), menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Dari perspektif sosiologi hukum, praktik penegakan hukum dan keadilan itu tidak terlepas dari peran dan fungsi seluruh piranti dan unsur pendukungnya, yaitu unsur kaidah hukum, petugas yang menegakkan, fasilitas, dan masyarakat itu sendiri (Soerjono Soekanto (1983) dalam Oyyo Sunaryo Muklas Integritas dan Profesionalitas Korps Penegak Hukum di Indonesia, 2012). Apabila meminjam pendekatan teori sosiologi, yakni teori struktural fungsional, maka penegakan hukum itu perlu didukung oleh adanya komitmen penguatan piranti secara merata,termasuk piranti penegak hukum.

Dalam perjalanan panjang sejarah peradilan Indonesia, tidak sedikit praktik peradilan ternoda oleh bobroknya mental hakim. Integritas hakim menjadi dipertanyakan, karena tidak lagi mencerminkan gambaran karakter yang seharusnya melekat pada jiwa hakim sebagai penegak hukum, sebagaimana dilambangkan dalam Panca Dharma yaitu: Kartika, Cakra, Candra, Sari, dan Tirta.

“Kartika” yang dilambangkan dengan bintang, berarti taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Cakra” yang dilambangkan dengan senjata ampuh dari Dewa Keadilan yang bertugas memusnahkan kezaliman mengandung arti adil. “Candra” yang dilambangkan dengan bulan yang menerangi kegelapan megandung arti bijaksana dan berwibawa. “Sari” yang dilambangkan dengan bunga yang harum mengandung arti berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela. “Tirta” yang dilambangkan dengan air mengandung arti pembersih, yaitu jujur. Tidak berlebihan apabila kelima dharma hakim itu kemudian tidak diindahkan harus berujung dengan adanya hakim yang diberi hukuman berupa sanksi administratif hingga diberhentikan dengan tidak hormat.

Mafia Peradilan

Insiden demi insiden melanda pengadilan dengan kasus-kasus tertangkap tangannya beberapa aparatur pengadilan yang diduga melakukan praktek mafia peradilan. Hanya dalam waktu singkat dampak buruk yang ditimbulkan luar biasa dahsyat. Kepercayaan masyarakat yang telah dibangun sedikit demi sedikit seolah-olah terhapus begitu saja. Peristiwa-peristiwa tersebut seyogyanya menjadi renungan bagi seluruh penegak hukum sambil mencari akar masalahnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pernah mengatakan bahwa dunia peradilan di Indonesia kian buruk (Kompas, 25/05/2016).. Hal itu terlihat dari banyaknya oknum peradilan yang terlibat kasus korupsi. Mahfud MD juga menyebut, terpuruknya dunia peradilan karena adanya jaringan “mafia peradilan” yang merekayasa proses hukum. Lebih lanjut dikatakan bahwa “mafia peradilan” itu dirumuskan sebagai suatu komplotan untuk mewujudkan urusan peradilan yang melibatkan penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim.

Misalnya, perkara diatur sedemikian rupa agar seseorang dihukum sekian tahun atau bebas melalui pengaturan perkara secara jahat.Sistem peradilan yang buruk membuat seseorang berpikir bahwa tidak ada jaminan dari negara untuk memastikan keamanan dan keadilan bagi dirinya, khususnya ketika terlibat perkara di pengadilan. Kalau kondisi seperti itu terus berlanjut maka negara bisa jadi hancur, pungkas Mahfud MD.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada empat tahapan yang rentan disusupi praktik mafia peradilan (Aradila Caesar Ifmaini Idris, Membongkar Mafia Peradilan, Koran Sindo, 14/06/2016).Pertama, tahap pendaftaran perkara. Di tingkat pengadilan, praktik mafia peradilan mulai terjadi pada tahap awal, yakni pendaftaran perkara di pengadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun