Mohon tunggu...
Joko_Siswanto
Joko_Siswanto Mohon Tunggu... -

tak ada kata terlambat untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Marwah Peradilan Indonesia

6 Oktober 2016   11:10 Diperbarui: 6 Oktober 2016   16:56 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun 2011, KPK meringkus hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial Bandung bernama Imas Dian Sari, yang dituding menerima suap dari PT Onamba Indonesia. Imas dihukum enam tahun penjara. Pada tahun yang sama KPK juga menangkap hakim PN Jakarta Pusat, Syarifuddin Umar, yang dituduh menerima suap sebesar Rp250 juta dari kurator PT Skycamping Indonesia. Syarifuddin divonis empat tahun penjara atas tindakannya.

Pada tahun 2012 KPK menjerat dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor, yaitu Heru Kusbandono (Pontianak) dan Kartini Juliana Marpaung (Semarang). Heru dinyatakan bersalah atas upaya suap terhadap Kartini. Ia divonis penjara selama enam tahun, sementara Kartini mendapatkan vonis dua tahun lebih lama dari pada Heru.

Maraknya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.

Komisi Yudisial dan Majelis Kehormatan Hakim

Independensi hakim dalam beberapa kasus telah menjadi jalan bagi hakim untuk bertindak tirani dengan melakukan perilaku koruptif dan kolutif yang menyimpang. Penyimpangan yang dilakukan oleh hakim tersebut justru mereduksi konsep kemerdekaan hakim dalam memutus karena adanya indikasi para pihak dalam persidangan yang melobi hakim agar putusannya mengarah pada kepentingan pihak tersebut. Hal inilah yang menjadi dilema independensi kekuasaan kehakiman yang apabila hadir tanpa kontrol dalam kerangka akuntabilitas akan melahirkan tirani yudikatif.

Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal di lingkungan peradilan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan; dan tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan (Kompas, 02/03/2005).

Oleh karena itulah, untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat serta perilaku hakim kemudian dibentuk Komisi Yudisial. Fungsi pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B UUD 1945 yang disusul dengan disahkannya UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, lebih memfokuskan pada pengawasan terhadap hakim sebagai individu, tidak secara langsung kepada Mahkamah Agung sebagai institusi. Artinya, Komisi Yudisial tidak melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, seperti kepegawaian, keuangan, dan administrasi perkara.

Dalam melaksanakan tugas pengawasan hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang ditetapkan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. KEPPH merupakan sumber nilai dan moralitas yang akan membimbing hakim menjadi baik, serta menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim terkait hal-hal yang dapat/boleh dilakukan dan larangan-larangannya disertai sanksi-sanksinya.

Apabila hakim terbukti melanggar KEPPH, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melanggar itu kepada Mahkamah Agung. Dalam hal penjatuhan sanksi berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan pemberhentian tetap tidak dengan hormat, Komisi Yudisial mengusulkannya kepada Majelis Kehormatan Hakim.Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim menjadi forum bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam melakukan penindakan terhadap hakim yang melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sepanjang usulannya menyangkut sanksi pemberhentian tetap. Majelis Kehormatan, dalam hal pembentukan dan pelaksanaan formil persidangannya, bukan merupakan wewenang eksklusif Komisi Yudisial. Hal ini disebabkan dengan adanya dua elemen di dalamnya dengan keanggotaan terdiri dari 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang hakim agung. Artinya, pembentukan dan pelaksanaan Majelis Kehormatan Hakim merupakan konsensus dua lembaga yang berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman tersebut.

Majelis Kehormatan Hakim merupakan forum yang bersifat ad hocyang menjadi salah satu ujung tombak dalam memberantas judicial corruptionkhususnya yang menyangkut hakim sebagai pelakunya. Dalam kaitan tersebut, peran checks and balancesKomisi Yudisial terhadap Mahkamah Agung terkait dilematisnya independensi kekuasaan kehakiman secara konkret dilaksanakan oleh Majelis Kehormatan Hakim dalam konteks pengawasan hakim.

Sistem Informasi Pengawasan (SIWAS) Mahkamah Agung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun