Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penjaga Penginapan

19 April 2020   20:31 Diperbarui: 19 April 2020   20:50 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

4 Jam sudah bus melintasi pegunungan 3.000 mdpl dengan keadaan jalan meliuk curam di pinggiran jurang. Tak jarang ban terperosok ke lubang-lubang jalan daripada harus ambil resiko meliukkan badan bus ke samping kanan-kiri. Bus yang sedang kunaiki ini memang tidak terlalu tua, namun karena banyak belokan, goncangan, ditambah bau kampas rem bus membuat perutku ikut kocak tak beraturan. 

Sesekali aku harus memuntahkan isi perutku ke dalam tas kresek hitam yang telah disediakan sebelumnya. Hanya aku satu-satunya penumpang yang muntah dan pusing tak karuan. Penumpang lain kulihat duduk santai dan beberapa terlihat terlelap.

Di luar jendela semakin jelas rangkaian pegunungan menyambung tak putus-putus. Beberapa tertutup salju, bercahaya menyilaukan dari sinar matahari yang seolah-olah berjarak beberapa langkah di atasnya. Di bawah terlihat anak-anak sungai, mengalir kecil pelan, membawa kemurnian untuk segala makhluk. Kubayangkan airnya pasti sangat dingin namun juga segar. Ia pasti berasal dari mata air pegunungan yang tak jauh. 

Kubayangkan juga kuberada di pinggirannya, meraup dengan tangan menengadah, menyatu dengan dinginnya lalu menyeruput segarnya air. Kuharap kesegarannya dapat meredakan mual. Saat kusadar bahwa tak mungkin turun ke sungai, aku kembali memegangi perutku sambil tetap memandang ke depan agar tak lagi mual dan muntah.

Seorang kernet mendekatiku, mengatakan bahwa tujuanku akan segera sampai. Kubersiap menggendong satu tas gunung berukuran sedang sambil kulihat penumpang lain yang masih duduk dengan tenang. Sepertinya hanya aku yang turun di perhentian ini pikirku. Mereka mungkin menuju ke perhentian akhir yang lebih pelosok. 

Setelah turun dari bus kumerasa silau saat melihat sekeliling. Tampaknya jarak matahari semakin dekat. Juga kumerasa semakin pusing karena mual selama perjalanan. Kuberjalan menuju penginapan yang telah kucari sebelumnya. Kubuka hape dan kulihat lagi nama penginapannya. Beberapa menit kuberjalan di jalan aspal yang masih silau membuatku semakin pusing, namun kumerasa pusingku bukan hanya karena mual dan silau.

Sampailah aku di depan penginapan yang kucari. Peninapan dua lantai ini terlihat sederhana namun memiliki gaya arsitek khas, terutama bangunannya yang bergaya Tibet. Kayu-kayu pada jendela dan atapnya bermotif kaya warna, serta tergelantung bendera berwarna warni khas tradisi suku Tibet. 

Segera kumasuk dan penjaga penginapan melihatku sedikit terhuyung tanda seseorang yang sedang pusing. Ia menanyaiku apakah sebelumnya pernah ke tempat dengan ketinggian lebih dari 3000an meter dan kujawab belum pernah. Ia mengatakan rasa pusingku memang tidak hanya karena mual dan silau, namun juga rasa pusing karena ketinggian. Mereka yang telah lahir dan hidup di ketinggian ini sudah terbiasa menghirup oksigen yang lebih tipis daripada orang dataran rendah yang menghirup oksigen melimpah. 

Segera ia menawariku dua botol obat yang harus kuminum setiap hari. Obat itu untuk meredakan pusing karena ketinggian. Tak lupa ia memberikanku kunci kamar, kumasuk dan segera kutidur pulas.

 Aku terbangun dan kulihat di luar jendela semakin gelap. Aku yang masih merasa pusing memaksakan diri untuk bangun lalu keluar kamar. Kumelihat si penjaga penginapan sedang menyiapkan perapian. Perapian ini membuat suhu ruang tengah menjadi hangat. Maklum saja, di musim dingin mereka tak punya penghangat ruangan seperti rumah-rumah penduduk di kota. Hanya perapian inilah yang menjaga tubuhku tetap hangat untuk melewati malam. 

Ia menawariku secangkir kopi. Kutanya kopi apa yang akan ia buat. Apakah ia mengerti kopi tanyaku yang seringkali sombong seolah tahu segala tentang kopi. Ia menawariku beberapa jenis kopi ala cafe pada umumnya. Kulihat juga ada mesin espresso dan biji kopi dari merek kopi Italia ternama. Kuyakin bahwa penjaga penginapan ini mengerti tentang kopi.

Kulihat di dinding ruang tengah tergantung banyak foto penjaga penginapan dengan orang-orang yang pernah mendaki gunung. Ia tentu akan memajang reputasinya agar diakui dan menjadi referensi bagi orang lain pikirku. Di pojok ruangan tersandar sepeda gunung dan beberapa piagam serta sertifikat tergantung di dinding. Kulihat ia adalah pesepeda profesional karena piagam serta penghargaannya. 

Ia pun memajang agar orang lain mengakui prestasinya, pikirku. Ia menyajikan kopi hangat di atas meja yang ditata rapi serta artistik. Rangkaian bunga dan taplaknya terlihat seperti  buatan tangan. Ia menyarankanku supaya banyak bergerak dengan berjalan-jalan keluar.

Sangat gelap di luar penginapan karena minim penerangan. Hanya pada persimpangan jalan penerangan tergantung. Selebihnya aku manfaatkan senter dari ponselku. Kuberjalan lurus sampai terlihat cahaya api dan beberapa orang mengelilinginya. Kulihat mereka sedang membakar daging-daging berukuran besar. 

Kutanya daging apa yang mereka sedang bakar, mereka jawab itu adalah daging yak. Yak adalah binatang mamalia seperti banteng yang dapat dijumpai di dataran tinggi Tibet. Mereka menawarkanku untuk membeli daging bakar tersebut namun aku menolaknya karena terlalu besar dan juga mahal.

Kukembali ke penginapan dan si penjaga penginapan terlihat duduk di depan perapian menghangatkan diri. Kududuk di sampingnya dan bertanya apakah ada pemandu yang dapat mengantarku mendaki ke puncak gunung. Ia menjawab bahwa ia sendiri yang akan memanduku.

"Kau yang akan memanduku ? apakah tak ada pemandu lainnya ?", tanyaku padanya.

"Karena kau menginap di penginapanku maka aku harus bertanggung jawab, termasuk saat kau mendaki gunung".

Sekarang aku tahu bahwa penginapan ini adalah miliknya dan ia menjalankan bisnisnya ini seorang diri ? sebagai penjaga penginapan, pelayan cafe kecil, dan seorang pemandu ? aku tak bisa membayangkan kecuali mengakui kerja keras menjalankan usahanya. Kulihat beberapa orang yang menginap di penginapan kecil ini harus disiapkan sarapan dan makan malamnya. Ia pun menawarkan beberapa masakan khas yang ia buat sendiri di dapurnya.

"Jadi kapan kau ingin naik gunung ?" tiba-tiba ia memotong lamunanku.

"Oh.., ya.., ehm.., besok pagi. Bisakah besok pagi ?" tanyaku tegesa-gesa

"Tidak masalah, namun kulihat kau tak mempersiapkan peralatan naik gunung."

"Aku sebenarnya bukan pendaki gunung profesional, aku hanya ingin naik gunung ini karena banyak kulihat foto gunung ini sangat keren di situs perjalanan wisata"

"Hanya karena gunung ini terlihat keren kau datang jauh-jauh kemari ?"

"Kurang lebih seperti itu. Juga mungkin karena sangat jauh jadi aku ingin lihat lebih dekat bagaimana kehidupan masyarakat lokal di sini."

"Jadi kau pertama kali ke sini. Kau mungkin belum tahu kalau gunung itu sangat misterius."

"Misterius ?", tanyaku heran. Ku tak pernah mendengar sebelumnya tentang ini. Kuingin tahu lebih banyak tentang informasi ini.

"Ya, gunung ini memang tidak terlalu terkenal, namun aku tak tahu bagaimana kau mendapat info tentang tempat ini dan nekad menempuh perjalanan yang berbahaya ke sini. Kukira kau akan benar-benar mendaki gunung."

"Aku benar-benar ingin mendaki gunung, tapi memang aku tak punya perlatan layaknya pendaki profesional."

"Baiklah, istirahatlah kau sekarang dan besok jam 6 pagi kita bisa mulai naik ke atas?"

Bergegas aku beranjak dari bangku depan perapian menuju kamar. Saat berbaring pun kepalaku masih saja terpikir tentang gunung yang dikatakannya misterius. Memang sesaat setelah kulihat penampakan gunung itu dari jendela bus, tidak hanya kesan kagum namun juga ada beberapa hal yang kurasa agak aneh. Sepertinya gunung itu menyimpan rasa tak ramah, seperti orang yang cenderung bersikap dingin dan tertutup. Itulah mengapa penjaga penginapan heran aku datang ke sini. Apakah memang gunung ini tidak banyak didaki karena berbahaya ?

Pagi menjelang cepat dan aku segera mempersiapkan diri dengan perbekalan seadanya. Sebelumnya aku pernah mendaki beberapa gunung dan kali ini kurasa tak perlu membawa banyak barang karena kuputuskan untuk tak terlalu memaksakan diri. Jika aku merasa tak lagi kuat mendaki maka kuputuskan untuk segera turun agar. Kubawa tas ransel kecil berisi sebotol air, arak, dan daging asap. Si penjaga penginapan telah bersiap di depan sambil menghisap rokokonya. Aku terheran bagaimana di ketinggian ini dan masih akan berjalan jauh ia malah merokok.

Kuberjalan beriringan ke arah gunung yang berdiri kokoh di depan. Puncaknya yang sangat lancip terlihat jelas meskipun terhalang beberapa pegunungan di depannya. Setelah melapor di pos penjagaan kami terus melangkah naik setapak demi setapak sambil menahan suhu minus pegunungan. Tidak hanya dingin yang menusuk, tipisnya udara membuatku cepat lelah dan terpaksa harus sering berhenti sejenak. Si penjaga mengikuti setia, menungguku rehat, lalu kembali melanjutkan perjalanan.

"aku tak mengira mendaki di ketinggian 3.000an meter membuatku cepat lelah", keluhku padanya.

"Karena oksigen yang semakin menipis. Kau akan semakin merasa pusing ketika kau hampir sampai puncaknya, di ketinggian 5.000an meter." 

"Kupikir ku tak akan sanggup sampai ke puncaknya." Jawabku pesimis.

"Jadi kau hanya ingin merasakan hiking di gunung ini tanpa ingin sampai ke puncaknya ?" tanyanya padaku sedikit heran.

"Seperti itu. Ku ingin perjalananku ini nantinya kuposting di Instagram. Pasti banyak yang akan terkagum" jawabku bangga.

"Anggap saja aku gaptek, tapi memang kurang mengerti tentang maksudmu itu. Kau ingin foto-fotomu ada di media sosial lalu akan ada banyak temanmu yang melihat ?"

"Lebih tepatnya fans, mereka lebih banyak daripada temanku. Aku ingin mereka memberikan banyak like di postinganku karena tidak banyak orang pernah mengunjungi gunung ini. Pasti akan banyak orang penasaran." 

"Lalu jika ada banyak orang memberi kamu like, maka kau akan semakin terkenal ?"

"Mungkin iya, atau mungkin juga tidak. Tapi setidaknya aku telah menunjukkan bahwa aku memiliki postingan lain yang luar biasa."

Ia tak menjawab. Mungkin juga masih bingung tentang maksud yang kusampaikan. Ia pun tak tahu apa itu Instagram dan jutaan foto yang disajikan untuk diberi pengakuan dengan simbol like. Semakin banyak like maka semakin diakui keberadaanmu di tengah pergaulan, ataukah itu hanya perasaanmu saja. Ku masih penasaran tentang kemisteriusan gunung ini. Baru saja ku mengingatnya lagi dan segera kutanyakan padanya.

"Kau bilang gunung ini misterius ? bisakah kau ceritakan kepadaku."

"Gunung ini sangat keramat bagi suku Tibet Garze. Tak sembarang orang dapat mendakinya dengan bebas. Seperti kau yang harus kupandu naik ke atas. Semua ini agar setiap pendaki taat terhadap aturan adat dan terhindar dari hal yang tak diinginkan."

"Ku melihat bangunan berbentuk segitiga yang disusun dari potongan-potongan batu tak jauh di depan. Seperti tugu peringatan ?"

"Tempat untuk beribadah dan meletakkan sesajian. Kau lihat setiap benda yang dipasang bendera berwarna warni itu tanda kesakralan."

"Aku ingin berfoto di depannya. Tolong bantu aku"

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak yang mungkin akan dicapai selama 6 jam. Perjalanan semakin terasa berat karena medan menanjak dan bebatuan yang menghambat langkah. Semak semak pohon berduri panjang paling membuatku kesal. Jaketku beberapa kali tertusuk dan koyak. Kupercepat langkahku untuk keluar dari hutan semak dan kemudian rehat.

Karena seringkali berhenti istirahat aku mungkin tak akan sampai ke puncak selama 6 jam, dan aku tak bisa menginap di atas karena tak ada tenda serta peralatan yang cukup. Kulihat dari kejauhan di padang rumput ada beberapa anak muda yang menunggangi kudanya, berlari cepat, sambil menggiring kuda-kuda lainnya. Sangat menakjubkan. 

Juga kumpulan yak yang merumput tanpa dikawal oleh penggembalanya. Sambil beristirahat aku memotret pemandangan indah pegunungan ini, juga menyantap daging asap serta meneguk arak putih yang kubeli di kota.

Semakin naik ke puncak semakin kumerasa pusing dan lelah. Kuberhenti istirahat lebih sering daripada beberapa jam yang lalu. Si penjaga penginapan mengatakan sebentar lagi kami telah melewati 3/4 perjalanan menuju puncak. Namun semakin berjalan maju mengapa puncak tak lagi terlihat jelas. Mungkin karena kami masih berada di pegunungan yang menghalangi puncaknya. 

Dari kejauhan kulihat sebuah rumah kecil yang berbentuk seperti tempat peristirahatan. Kukatakan kepadanya kuingin beristirahat lagi di depan rumah itu. Kumendengar sayup ia mengatakan "ya, aku akan berjalan ke depan".

Tak kuhiraukan lagi dia. Aku ingin duduk dengan agak lama sebelum kumenyusul ia yang terlihat semakin buram di depan. Tak kusangka air yang kubawa tinggal sedikit. Mungkin beberapa tegukan lagi habis. Maka segera kuputuskan aku harus turun sebelum kumerasa tak ada sisa daya karena kehabisan air. 

Kususul segera si penjaga penginapan yang kira-kira sudah beberapa puluh meter di depanku. Kukira ia akan segera kutemukan namun ternyata aku sendiri yang kehilangan jejaknya. Aku sadar telah tersesat.

Aku harus berbalik arah dan turun dengan segera daripada aku terus ke depan, melanjutkan pendakian tanpa harapan bertemu penjaga penginapan dan meraih puncak gunung. Sia-sia juga jika sampai puncak namun ku tak ada energi tersisa turun. Dengan segera kuberbalik arah, menuruni pegunungan dengan lebih cepat dibanding saat mendaki. Ku lewati semak-semak pohon berduri yang kulewati sebelumnya tanda aku tak memilih jalan yang salah.

Saat landai ku berjalan lebih cepat, sebelum matahari tenggelam. Ku hampir kehilangan arah saat tiba di padang rumput luas dan tak ingat lagi jalan mana yang aku harus pilih. Sesaat ku berpikir apa gunanya aku datang ke gunung ini tanpa tujuan yang jelas. Mendaki gunung mungkin adalah tujuan awalku, namun mengapa harus menyiksa diri berlebihan. Kumerasa egoku telah mengalahkan segalanya hingga ku sadar betapa tak berdayanya aku di hadapan kenyataan.

Tiga jam lagi matahari akan tenggelam dan jika tak cepat kuambil jalur yang tepat maka aku akan berjalan di kegelapan malam dan dingin yang menusuk. Semua itu mungkin tak lantas membuatku mati, tapi kedinginan dan membeku pelan-pelan nampaknya lebih mengerikan. Sesaat kuingat-ingat jalur mana yang pagi tadi kuambil. 

Tiba-tiba kuingat kumpulan kuda bersama penunggangnya melewati padang rumput ini. Mungkin jika aku mengikuti jejaknya maka aku pun bisa sampai ke bawah. Tanpa bepikir dua kali ku telusuri jejak-jejak kuda dengan harapan sampai ke bawah sebelum senja tenggelam.

Maka sampailah aku di pos penjagaan di awal kumulai mendaki. Aku merasa bersyukur dapat turun gunung dengan selamat, namun sesaat juga berpikir si penjaga penginapan yang khawatir dan mencariku di atas. Mungkin ia pun tahu aku bakal turun dengan segera ketika ku tak mampu lagi melanjutkan pendakian. 

Setelah kutunggu lama di depan penginapannya dan hari telah gelap ia pun datang. Aku merasa bersalah dan meminta maaf segera kepadanya. Ia tak keberatan sedikitpun, malah bersyukur aku dapat turun dengan selamat.

"Kini kau tahu mengapa aku harus mendampingimu, karena tidak banyak orang yang memperhatikan bahwa ketinggian memengaruhi pikiranmu." 

"Maafkan aku. Kini ku tahu mengapa banyak orang menganggap gunung itu misterius."

"Kuingin kau lebih percaya oksigen daripada hal-hal mistis."

"Berapa banyak orang yang telah tersesat di atas ?" tanyaku penasaran.

"Pernah ada beberapa, juga ada yang hilang tak ditemukan. Namun aku juga tak tahu berapa pastinya. Namun orang-orang di luar sana sering beranggapan tentang hal-hal mistis."

"Aku kira tadi juga begitu. Sesuatu mengaburkan pandanganku saat ku merasa lelah. Namun pada akhirnya aku dapat berpikir jernir untuk fokus pada tujuanku."

"Apa tujuanmu ?"

"Turun ke bawah"

"Aku kira tujuanmu sampai ke puncak lalu berfoto dan akan kau unggah di Instagram agar membuatmu semakin tenar seperti katamu tadi."

"Awalnya kuberpikir seperti itu. Tapi sepertinya aku tadi mendapatkan sesuatu yang lebih berharga."

"Aku senang akhirnya kau bisa memahaminya."

"Banyak orang yang mengobarkan uang, waktu, tenaga, pikiran, bahkan keluarga dan sahabat untuk terlihat lebih hebat di media sosial. Ia kira dengan mendulang banyak like akan membuatnya tenar dan diakui banyak orang. Memang benar seperti itu, namun sepertinya kau hanya berkorban untuk sesuatu yang tak terlalu bermanfaat. Apalagi jika kau hanya mengikuti orang lain agar terlihat sama, mendapat ketenaran yang sama."

"Lalu apa yang sebaiknya kau lakukan?"

"Lebih baik aku berfokus pada satu tujuan, kucari jalannya yang tepat, kemudian hasilnya bisa kuraih tanpa harus berpura-pura, meminta pengakuan orang lain, apalagi memamerkannya di depan banyak orang."

"Kau sendiri telah menemukan esensi yang penting bagi dirimu daripada sekedar mengejar ego"

"Tapi mengapa masih banyak orang yang sepertiku?"

"Karena mungkin ia tak pernah berpikir dalam-dalam atau merasa tersesat"

"Kau harus tersesat untuk menjauhkan egomu ?" tanyaku terheran.

"Kau cukup berpikir dengan jernih untuk melihat kesederhanaan di sekitarmu"

"Terima kasih telah menunjukkan jalannya."

"Aku tak menunjukkan apa-apa. Kau sendiri yang datang ke sini dan ingin naik ke gunung itu." 

"Baiklah. Sekali lagi ku harus berterima kasih padamu. Kau akan menyalakan perapian untukku kan ?" tanyaku bercanda.

"Tentu. Juga akan kusiapkan kopi jika kau mau."

Kami pun masuk ke dalam penginapan, menghangatkan badan di depan perapian sambil mengobrol. Aku sangat mengagumi si penjaga penginapan dengan kesederhanaannya namun setia terhadap profesi yang ia kerjakan. Setiap hari ia mengurus penginapan dan melayani setiap pengunjungnya. Ia juga menemani setiap orang yang ingin mendaki gunung, bahkan sampai puncaknya. Terkadang ia pun juga mengikuti perlombaan sepeda sebagaimana hobinya sejak kecil. Kami bercerita banyak hingga hari ketiga menjelang cepat.

Sudah waktunya aku berpamitan padanya. Aku naik bus menuju kota melewati jalan yang sama. Sepanjang 6 jam perjalanan aku kembali muntah mabuk karena kondisi jalan yang rusak. Dalam perjalanan juga kembali kuingat tentang pengalaman mendaki gunung bersama seorang penjaga penginapan hingga akhirnya kumendapat pelajaran berharga. Gunugn yang kudaki memang tidak terlalu dikenal, bahkan untuk kebanyakan orang lokal sekalipun.

Nama gunung  tersebuat adalah gunung Siguniang yang berlokasi di provinsi Sichuan, Tiongkok selatan. Gunung ini dalam bahasa Inggris bernama four girls mountain atau four sisters mountain yang diterjemahkan langsung dari bahasa Mandarinnya. Angka empat pada nama tersebut mengacu pada empat puncak yang terdiri dari puncak Yaomei, puncak Sanguniang, puncak Erguniang, dan puncak Daguniang.

Puncak Yaomei adalah puncak yang memiliki elevasi tertinggi, sekitar 6.250 meter. Sedangkan puncak-puncak yang lain memiliki elevasi sekitar 5000an mdpl.Terletak dekat dengan perbatasan provinsi otonomi Tibet, gunung Siguniang terkenal akan kecantikannya dan juga dikenal sebagai area perlindungan panda. Karena kecantikannya, banyak pendaki ataupun juga hiker ingin menaklukkan daya pikatnya. Namun banyak orang yang hanya tertarik daya pikatnya namun tak memikirkan kemisteriusannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun