Kuberjalan beriringan ke arah gunung yang berdiri kokoh di depan. Puncaknya yang sangat lancip terlihat jelas meskipun terhalang beberapa pegunungan di depannya. Setelah melapor di pos penjagaan kami terus melangkah naik setapak demi setapak sambil menahan suhu minus pegunungan. Tidak hanya dingin yang menusuk, tipisnya udara membuatku cepat lelah dan terpaksa harus sering berhenti sejenak. Si penjaga mengikuti setia, menungguku rehat, lalu kembali melanjutkan perjalanan.
"aku tak mengira mendaki di ketinggian 3.000an meter membuatku cepat lelah", keluhku padanya.
"Karena oksigen yang semakin menipis. Kau akan semakin merasa pusing ketika kau hampir sampai puncaknya, di ketinggian 5.000an meter."Â
"Kupikir ku tak akan sanggup sampai ke puncaknya."Â Jawabku pesimis.
"Jadi kau hanya ingin merasakan hiking di gunung ini tanpa ingin sampai ke puncaknya ?"Â tanyanya padaku sedikit heran.
"Seperti itu. Ku ingin perjalananku ini nantinya kuposting di Instagram. Pasti banyak yang akan terkagum"Â jawabku bangga.
"Anggap saja aku gaptek, tapi memang kurang mengerti tentang maksudmu itu. Kau ingin foto-fotomu ada di media sosial lalu akan ada banyak temanmu yang melihat ?"
"Lebih tepatnya fans, mereka lebih banyak daripada temanku. Aku ingin mereka memberikan banyak like di postinganku karena tidak banyak orang pernah mengunjungi gunung ini. Pasti akan banyak orang penasaran."Â
"Lalu jika ada banyak orang memberi kamu like, maka kau akan semakin terkenal ?"
"Mungkin iya, atau mungkin juga tidak. Tapi setidaknya aku telah menunjukkan bahwa aku memiliki postingan lain yang luar biasa."
Ia tak menjawab. Mungkin juga masih bingung tentang maksud yang kusampaikan. Ia pun tak tahu apa itu Instagram dan jutaan foto yang disajikan untuk diberi pengakuan dengan simbol like. Semakin banyak like maka semakin diakui keberadaanmu di tengah pergaulan, ataukah itu hanya perasaanmu saja. Ku masih penasaran tentang kemisteriusan gunung ini. Baru saja ku mengingatnya lagi dan segera kutanyakan padanya.