Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Arak Sumberwangi

7 Februari 2020   20:19 Diperbarui: 7 Februari 2020   20:28 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang lelaki tua susah payah menutup pintu rumah panjang, berkarat, catnya terkelupas. Pintu tertutup tak sempurna, diikatkan rantai berkarat pada kedua gagangnya, dikunci gembok. Kretek yang ditahan di kedua bibirnya sesekali dihisap, lalu diambil alih tangan kanannya. Duduk di lincak bambu depan rumah panjang. Rotan yang terburai tidak karuan memisahkan belah bambu serta beberapa kunciannya. Memandang ke arah selatan, air terjun dengan suaranya yang bergemuruh, semakin tak kentara, sebab saatnya matahari tenggelam. Membayangkan air terjun dan aliran sungai kecil bercabang di bawahnya adalah sumber kemakmuran yang sudah tak bertalian lagi. Sulit untuk berangan desanya kembali berjaya. Desa Sumberwangi yang masyhur menjadi legenda. Ternama karena komoditas utamanya, arak, yang kini terlupakan.

Sekitar 25 tahun yang lalu, Sumberwangi adalah penghasil arak lokal yang terbaik. Hampir setiap kepala keluarga adalah pengrajin arak. Rumah panjang adalah sebutan untuk pabriknya. Yang tertua berumur lebih dari 600 tahun, kemudian bertambah sampai 8 rumah panjang, diteruskan serta diwariskan turun-temurun, tak putus-putus. Teknologi tradisional masih dipertahankan, dirawat, dan dilestarikan.

Sastra lisan tetap bertahan, diceritakan leluhur kepada nenek moyang, turun ke generasi selanjutnya, tentang legenda dan praktik pembuatan arak yang sampai saat ini tak pernah diwujudkan dalam rangkaian aksara. Rapal mantra dihafalkan, termasuk metrum serta panjang-pendeknya bunyi. Proses ritual dan sesajian dari awal mula pembuatan sampai akhir tertib dilakukan. Semua untuk menghormati dan memuji satu kekuatan, tak diwujudkan dalam nama, hanya disebut dengan sapaan Eyang, karena sakral. Eyang dipercaya melindungi Sumberwangi, beserta hutan, pegunungan, dan air terjunnya.

Arak Sumberwangi, begitulah namanya, sama dengan nama desa pembuatnya. Dijual sampai ke seluruh provinsi, dihormati dan diperlakukan stimewa. Tak sekadar untuk minum. Orang tua bahkan mengutuk remaja yang memperlakukannya sembarangan. Mabuk adalah tak terpuji dan patut dihukum. Arak disuguhkan untuk menghormati tamu. Begitu juga dengan berbagai prosesi dan upacara lainnya. Juga bagi para petani yang bekerja keras setiap harinya, semuanya membutuhkan arak, dan Sumberwangi adalah yang paling ternama.

Lamunan lelaki tua tiba-tiba buyar terhembus bersamaan kepulan asap kreteknya. Dilihatnya cahaya senter namun malah menyilaukannya. Terdengar dari kejauan.

"Ayo pulang lik," terdengar suara yang tak asing baginya, keponakan yang baru datang dari rantau.

"Bulikmu sudah selesai masak ?", sambil berdiri lalu menyambut mengikuti cahaya.

 "Sudah, malam ini sayur kangkung dan tempe goreng." Nyala kretek lelaki tua segera dipadamkan.

Mereka berjalan pelan, beriringan, pulang ke rumah.

Lelaki tua itu bernama Paimo, biasa dipanggil Lik Mo, dan keponakannya bernama Eko. Lik Mo adalah pengrajin arak tertua di Sumberwangi, menguasai segala pengetahuan tentang arak, diturunkan dari kakek dan ayahnya. Pernah menjadi kepala penanggung jawab produksi di rumah panjang tertua dan beberapa di antaranya. Masyarakat tentu sangat menghormatinya, bahkan setelah 25 tahun tidak memproduksi arak lagi. Tak sedikitpun kehilangan rasa hormat dari warga. Sumberwangi pernah makmur, menjadi percontohan bagi ribuan desa lainnya.

Setelah pernah berjaya selama ratusan tahun, konsumsi arak kemudian lambat meredup. Prosesi serta ritual masyarakat yang tak lagi dilakukan termasuk penyebabnya, berproses pelan. Para generasi muda dan pendatang menganggap ritual tersebut tidak perlu dilakukan, bahkan dianggap primitif serta pagan oleh kepercayaan baru, yang lebih modern. Satu per satu prosesi ritual hilang dari tradisi masyarakat. Tradisi minum arak pun tak luput dari pelarangan. Dalam satu tahun saja produksi arak Sumberwangi menurun tajam. Dalam beberapa tahun selanjutnya seluruh rumah panjang di Sumberwangi tak lagi memproduksi, bangkrut, tutup. Hanya beberapa rumah saja yang memproduksi untuk permintaan kecil.

Sajian malam sudah tersedia di meja. Lik Mo dan Eko duduk lebih dulu, disusul Mbok Rono yang membawa cobek berisi sambal bawang. Bertiga menyantap lahap santapan pedesaan nan segar.

"Kau tak mau balik lagi ke kota Ko?" tanya Mbok Rono.

"Benar kata bulikmu Ko, di sini kecuali bertani tidak banyak yang bisa dilakukan," silih Lik Mo menyetujui.

"Aku ora betah kerja di kota. Lulus kuliah memang pengen pulang desa, tapi aku coba kerja beberapa tahun ini, cari pengalaman kerja di kota." Sambil meraih tempe yang dicocolkan ke sambal bawang.

"Lha kamu mau kerja apa di sini ? bapakmu masih punya sawah. Sekarang aku yang ngurus, tanam lombok dan timun, tapi hasilnya ora seberapa, beberapa bulan ini harganya turun terus, karena yang impor sudah masuk pasar Kliwon." Lik Mo menjelaskan keadaan desa, serba apa adanya, sedikit mengeluh.

"Produksi arak lagi, di rumah panjang, piye Lik ?" serta merta Eko menawarkan.

"Hus.., kowe ini.., tau sendiri dulu banyak ormas datang ke sini waktu kamu masih SD, kacau di seluruh desa. Ora takut kamu ?" Mbok Rono memperingatkan kejadian pelarangan arak oleh ormas, yang polisi pun tak bisa menyelesaikan, sampai akhirnya arak stop produksi.

"Pasti ada caranya mbok, bagaimanapun arak Sumberwangi adalah kemakmuran desa, dari 600 tahun yang lalu. Bukannya gunung meletus juga pernah menyetop produksi. Perang Diponegoro, piye ? perang revolusi sampai pembersihan PKI ?" jelas Eko seperti seorang ahli sejarah.

"Lalu nanti piye jualnya?" tanya Lik Mo agak meragukan keinginan keponakannya.

"Nanti aku pikir piye caranya, yang penting aku Lik Mo ajari aku gimana cara buat arak." Eko sekali lagi meyakinkan paman, juga minta restu bibinya.

Air sungai mengalir dengan deras, berhulu air terjun, jernih, dan sejuk. Penduduk desa sudah biasa meminum langsung airnya. Air adalah kunci dari semua kemakmuran itu berasal, tak terkecuali unsur yang paling penting dari arak. Itu adalah dasar teori yang diberikan Lik Mo kepada Eko, pada suatu pagi, menyusuri tegalan sawah, menyapa para petani yang sedang menyiangi. Sampailah juga di sungai, disusurinya pinggiran berbatu, dilintasinya cabang sungai yang menyatu, dan Lik Mo kembali menjabarkan tentang sejarah dan teori arak Sumberwangi.

Pada masa kuno arak merupakan minuman yang langka, maka juga sangat berharga. Selain daripada kerumitan teknik pembuatannya, juga membutuhkan banyak bahan. Untuk 100 kg beras misalnya, hanya dapat menghasilkan 6 liter arak. Pada awalnya arak digunakan sebagai salah satu persembahan untuk berbagai macam ritual. Selain itu, arak diperlukan untuk jamuan pesta para bangsawan. Pada perkembangannya arak dan peradaban masyarakat membentuk ikatan erat, kolektif. Keluarga, teman, semuanya menikmati arak, untuk menyambut tamu, merayakan hari istimewa, kelahiran, pernikahan, perdagangan, perayaan festival, makan malam, permintaan maaf, pesta. Setiap aktivitas interaksi manusia, jamuan makan dan minum arak bersama sangat penting pada masa itu.

Setelah menyusuri sungai, Lik Mo dan Eko kembali ke desa dan langsung menuju rumah panjang yang tertua. Langkah mereka pelan dan Eko mendengarkan penjelasan dengan sunguh-sugguh. Arak Sumberwangi adalah arak beras, dibuat dari beras yang ditanam di desa ini dan sekitarnya. Tanahnya gembur, subur, menghasilkan beras beraroma wangi. Ada lima langkah untuk membuat arak: persiapan bahan, penguapan, fermentasi, penyulingan, dan penyimpanan. Itu masih teori dasar yang harus dihafalkan, tak perlu ditulis.

Menyiapkan padi yang baik adalah proses awal penting, utuh, dipilih dengan teliti. Kuali berdiameter dua setengah meter diperlihatkan, masih berdebu tak terawat, namun tetap berfungsi normal. Padi dibersihkan dengan air lalu dikukus dengan kuali tradisional. Itulah langkah pertama.

Untuk menghasilkan alkohol dibutuhkan gula. Proses sakarifikasi, mengubah biji padi kaya gula adalah langkah selanjutnya, dengan menambahkan bubuk ragi dan air, membiarkan mikroorganisme melakukan proses selanjutnya. Ragi arak dibuat sendiri, khas Sumberwangi, tak ada yang menyamai resepnya. Racikan tradisional warisan leluhur, lisan, dikembangkan bertahap, ratusan tahun, menghasilkan efek rasa yang unik tiada duanya.

Resep ragi hanya Lik Mo dan Mbok Rono yang tahu, unsur-unsurnya sangat rumit, padi, lempung, rempah, dan akar-akaran wangi sekitar air terjun adalah beberapa di antaranya. Lik Mo menyebut hingga 80an unsur pembuat ragi.

Selanjutnya, Lik Mo memperlihatkan lubang-lubang berdiameter satu meter dan sekitar satu setengah meter dalamnya, di dalam rumah panjang. Eko bingung melihatnya, tak tahu apa fungsinya. Proses selanjutnya, yang telah tercampur ragi dan sedikit air itu dimasukkan ke dalam lubang-lubang untuk proses fermentasi, waktunya beragam.  

Fermentasi adalah proses ragi memakan gula dan mengubahnya menjadi alkohol dan karbon dioksida. Terkadang ragi akan masih tetap ditambahkan, sedikit demi sedikit. Proses penting selanjutnya adalah penyulingan. Anak muda sekarang menyebutnya distilasi. Alat distilasi tradisional dari kayu jati berukuran besar diperlihatkan di ruangan yang berbeda, khusus untuk proses ini.

Alkohol memiliki suhu mendidih lebih rendah daripada air, sehingga ketika mendidih alkohol terlebih dahulu menguap. Uap alkohol dikumpulkan dalam sebuah tabung dan dialirkan ke dalam tempat terpisah, lalu didinginkan kembali menjadi cairan, beralkohol. Sulingan awal tentu berkadar sangat tinggi, hampir 70% atau lebih, tidak aman untuk dikonsumsi! Lik Mo memperingatkan. Sulingan pertama akan diterima dengan gelas khusus, untuk keperluan upacara, bersyukur kepada Eyang, Lik Mo mengingatkan tradisi, agar tidak mati.

Setelah arak didapatkan, proses selanjutnya adalah penyimpanan. Lik Mo dan Eko turun ke ruang bawah tanah, diperlihatkannya gerabah-gerabah besar, kuno, ratusan tahun. Mineral gerabah serta suhu lembab bawah tanah akan sangat baik untuk menyimpan arak, berbulan-bulan, 1 tahun, 3 tahun, 8 tahun, bahkan lebih lama dari itu. Kadar alkohol akan turun perlahan dan rasa akan berubah, semakin lembut.

Satu guci keramik kecil diambil Lik Mo, dibukanya kain penutup dan diputarnya tutup kayu sekuat tenaga. Aroma harum arak segera memehuni, terhirup cepat, tertahan sebentar sebelum dihembuskan. Lekas Lik Mo mengambil gelas kecil dan menuang secukupnya.

"coba ini, sekitar 9 tahun tuanya, angka baik." Dengan bangga Lik Mo menyodorkan pada Eko.

"tapi sebentar, dihirup pelan aromanya, dari ujung gelas tak perlu sampai menyentuh bawah lobang hidung, aja kesusu. Setelah itu minum pelan dan yang kedua sekali teguk, kering tak bersisa." Lanjut Lik Mo, seorang pakar tak bersertifikat.

Eko mulai mencium aromanya, perlahan, menebak-nebak dalam pikirannya, mencari tahu analogi untuk berkomentar. Wangi, itulah yang pertama dalam pikirannya, namun belum bisa mendeskripsikan. Sruputan pertamanya pun dilakukan. Rasa manis serta lembut sangat kentara. Ketajaman wanginya tak hanya memenuhi hidung namun juga mulut, semakin terasa dan tahan lama, seakan-akan tak mau berakhir. Tegukan dilakukan dengan cepat. Sewaktu masuk ke mulut rasa serta aromanya terasa keras, namun menjadi manis dan menyegarkan setelahnya. Beberapa saat setelahnya, rasa hangat baru terasa, tak menyiksa di awalnya.

Itulah yang dirasakan, lalu dijelaskan kepada pamannya. Lik Mo cukup puas dengan deskripsi rasa yang dideskripsikan keponakannya. Uniknya rasa arak Sumberwangi terletak pada kesegaran air mineral pegunungan, padi atau beras dari tanah subur, dan ragi yang kaya bahan, serta tempat penyimpanan yang cocok. Semua berkolaborasi membentuk rasa yang unik, tak dapat disamai di manapun.  

Proses pembuatan yang rumit dan lama bukan tantangan utama dalam pembuatan arak. Tenaga kerja dan kerja keras selama pembuatan dibutuhkan. Proses penyimpanan juga tidak sebentar dan ritual yang tak boleh dilewati. Tantangan terakhir adalah penjualan, tak tahu apakah bisa terjual di saat sekarang.

"Memang sulit untuk dibayangkan, banyak tantangan, namun bukannya tak ada kesempatan, usahaku akan berbuah, aku yakin Lik." Yakin Eko kepada pamannya.

"Aku ora ragu dengan yakinmu, malah aku juga tanggung jawab, mewariskan tradisi yang turun-temurun ini, meski resikonya juga gedhe." Lik Mo memegang erat pundak kanan keponakannya, tanda kesepakatan dan keyakinan, juga kepercayaan.

Belum sampai pukul 11 siang awan dan kabut menyelimuti tepat di atas air terjun, turun ke persawahan dan rumah-rumah. Daerah Sumberwangi adalah ceruk, dikelilingi pegunungan, bertemperatur cukup rendah dan stabil. Eko, Lik Mo, Mbok Rono, serta beberapa warga memulai untuk membuat arak, pertama dalam jumlah besar, yang lama tak dilakukan. Semua bertanggung jawab, menikmati dari proses ke proses, tak lupa meminta restu, pada sang leluhur, dalam prosesi singkat.

24 hari lamanya lalu proses penyulingan dilakukan. 3 bulan lamanya penyimpanan dilakukan. Arak dikemas dalam botol gerabah tradisional, asli tak berubah. Penduduk desa sekitar telah mendengar kabar dibuatnya kembali arak Sumberwangi, sehingga sewaktu siap dijual banyak orang antri di depan rumah panjang. Arak produksi pertama ini memang hanya cukup untuk konsumen sekarang, para warga desa sekitar, namun tidak tahu bagaimana dengan proses produksi selanjutnya. Eko meyakinkan warga agar tetap memproduksi kembali, melanjutkan kejayaan masa lalu, tanpa ragu-ragu.

Produksi demi produksi dilakukan dan keuntungan mulai dapat dirasakan para warga. Satu per satu rumah panjang dibuka dan kembali digunakan oleh warga, tidak hanya bergantung pada hasil pertanian. Kabar arak Sumberwangi kembali dijual tak hanya sampai ke desa-desa sekitar, kecamatan lain, bahkan provinsi lain tahu dengan cepat. Bukan hanya dari mulut ke mulut, namun juga dari teknologi yang mempercepat. Penjualan setiap bulannya mencapai 1200 liter. Sebagian pejabat pemerintah senang dan mendukung, karena meningkatkan perekonomian. Sebelumnya pemerintah daerah tak tahu bagaimana cara meningkatkan perekomonian warganya. Namun sebagian tidak suka, meminta usul agar tidak dilanjutkan.

Tak butuh lama kabar ini sampai ke ormas yang melarang dan menutup rumah panjang, 25 tahun yang lalu. Meskipun telah berdiskusi dengan aparat keamanan, namun tak ketemu jalan tengah. Rapat setingkat kecamatan bahkan provinsi pun tak menemukan sepakat, selalu buntu. Tidak ada Negosiasi bagi ormas untuk produksi arak ini. Nyali aparat keamanan segera ciut melihat massa ormas yang berdatangan, kecewa tak ditanggapi, berniat mendatangi Sumberwangi, 30 kilometer menempuh jalan pegunungan.

Surat perintah menghentikan produksi datang dari aparat. Para warga sudah lebih tahu, juga konsekuensi yang akan dihadapi. Kabar lain segera datang, dalam perjalanan dan akan sampai pada keesokan hari. Dua truk, tiga mobil, serta puluhan motor beriringan menuju desa, melintasi jalan berkelok dan berlubang, semakin licin karena hujan kecil dua hari tak henti.

Ruangan bawah tanah segera ditutup, guci dan ribuan botol arak disembunyikan. Alat produksi dibersihkan dan ditata rapi kembali. Rumah panjang ditutup. Banyak warga berjaga- di depan gapura masuk desa, sambil menutup dengan kayu. Eko menyarankan para warganya agar tidak bertindak anarkis kepada ormas.

Sebelum fajar tiba, dua orang aparat datang, memberitahu datangnya ormas, 5 jam lagi. Warga menanyakan aparat yang tak bisa menahan para ormas dan mengapa tak ada jalan negosiasi. Aparat membujuk untuk mengikuti permintaan ormas, agar tak terjadi perkelahian massal, dan pembunuhan. Para warga tak lagi mendengar aparat. Eko meminta aparat agar diturunkan bantuan. Namun sudah terlambat, bantuan tidak akan datang secepat para ormas.

Dari balik gunung rombongan mulai terlihat, membawa bendera yang tak asing lagi dilihatnya, hanya ditambah gambar dua pedang di sisi kanan dan kiri, seperti panji-panji kerajaan yang dibawa ke medan laga. Warga Sumberwangi juga menancapkan bendera negara, yang setiap kali dikibarkan pada perayaan kemerdekaan. Para anggota ormas turun dari kendaraan, dipimpin ketuanya berperawakan tinggi besar, melangkah mendekat, memegang toa. Atas nama ormas, pejabat, dan pemerintah daerah, katanya, meminta produksi arak dihentikan  dan menyerahkan sisa-sisa produksi untuk hanguskan di tempat.

Warga Sumberwangi ramai menolak, cekcok dan keributan semakin menghebat, saling lempar sudah dimulai. Ormas memaksa merangsek masuk, menggoyang kayu penghalang, tak sabar lalu membakarnya. Membara, menjilat ke segala arah, dan akhirnya ormas masuk dan mulai mengayun ayunkan kayu sebagai pentungan. Saling lempar batu semakin menjadi-jadi, mengenai kedua pihak, yang terluka dan tak kuat menahan sakit berjatuhan.  

Lik Mo miris melihat kejadian sama seperti 25 tahun lalu, terjadi lagi, di depan mata kepala. Mbok Rono dari kejauhan melihat kekacauan yang sama. Eko tetap mencoba melerai kedua pihak, tak berani berkelahi, terkena sabetan kayu berkali-kali, kemudian jatuh, merintih kesakitan, meminta ampun. Keributan berlangsung selama 2 jam. Satu truk aparat serta pejabat daerah datang, melerai, dan menyarankan agar desa Sumberwangi tak lagi memproduksi arak. Tak ada yang bisa dilakukan para warga, menyerah, dan membiarkan arak-arak hasil produksi berbulan-bulan dibakar. Begitulah nasib yang diterima warga Sumberwangi, sekali lagi.

12.000 km dari desa Sumberwangi, sebuah pameran arak berlangsung. Ratusan arak dikompetisikan dalam berbagai kategori. Arak beraroma wangi dan unik kembali memenangkan kompetisi, tak terkalahkan untuk ketiga kalinya, dalam skala internasional. Eko segera menghubungi pamannya.

"menang lagi Pak Lik, tiga kali berturut-turut." Sambil tertawa girang.

"Syukur lah le, aku sama Mbok Rono ikut senang, warga juga ikut senang. Kowe dari awal sudah niat mau meneruskan sekaligus membantu warga, pasti diberi jalan." Beberapa tetes air mata jatuh membasahi hape kecil Lik Mo.

Arak Sumberwangi kini dikenal masyarakat internasional. Eko membawa pergi sisa arak yang masih disembunyikan saat itu ke luar negeri bersamaan studi S2nya, 3 tahun setelah kejadian penyerangan ormas ke Sumberwangi. Setelah lulus ia mengembangkan arak khas desanya dan dipasarkan secara mandiri, dengan bahan yang didatangkan langsung dari desa, termasuk air, sebagai unsur penting. Tradisi yang diturunkan dari Lik Mo kepada Eko berhasil dilestarikan dengan baik. Desa Sumberwangi yang menjadi pemasok bahan arak menjadi makmur kembali.

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun