Bukankah pepatah lama menyatakan pantherei, Â yang abadi itu adalah perubahan. Semuanya berubah. Gaya hidup analog berganti digital, alkitab dalam tampilan kertas berubah menjadi alki-tab dalam tampilan touch screen smart phone.
Era keterbukaan informasi lewat kehadiran situs google menggeser text book yang sulit dijangkau dalam ruang-ruang perpustakaan.
Kemudahan konektifitas lewat jaringan internet dan sejenisnya.
Gaya kepemimpinan pemerintah dari otoriter top down beralih ke blusukanbottom up.
Dan masih banyak lagi perubahan di sekitar kita. Perlu mendapat respons yang bijak dari gereja. Perubahan tidak selamanya negatif walau memang perlu energi ekstra untuk mengeksplorasi dan memahami implikasinya. Pilihannya adalah kita menyonsong perubahan atau dipaksa berubah oleh tuntutan jaman, manakah yang di plilih Gereja Protestan Maluku? Â
Ada juga peserta yang berasal dari jenjang usia yang hampir sama.
Penilaian saya mereka memberikan hasil lumayan maksimal, bahkan mungkin dapat menjadi yang terbaik. Kesamaan umur, energi, mungkin juga pola pikir dan motivasi  membuat dinamika dan kolaborasi memiliki akselerasi yang maksimal. Sebuah keputusan smart.
Kelompok atau pair group seperti ini juga perlu dihadirkan dan dibudayakan dalam kehidupan bergereja karena memiliki potensi untuk menyumbangkan sumber daya yang maksimal.
Sudahkah gereja protestan Maluku dalam usia 82 tahun memilikinya dan bahkan membuat jaringan antar jemaat dan klasis bagi kelompok-kelompok tersebut?
Peserta lomba rata-rata terdiri dari 8 orang, terkadang ada beberapa kelompok peserta memiliki individu yang tampil menonjol, seluruh tubuhnya menari. Inilah bakat tari yang berlebih individu tertentu.
Dalam kehidupan bergereja pun tidak dapat dipungkiri ada individu-individu yang menonjol.